|| Chapter 22 ||

17 2 3
                                        

"Kalian pikir aku menikmati kepintaran ini? Dituntut sana-sini itu gak enak, capek." —Aileen Queenby Aldinata

Sejak pertama menginjakkan kaki di area sekolah, wajah Aileen tak ada cerah-cerahnya sama sekali. Membuat Insha dan Fidelya kesal setengah mati karena eneg melihatnya.

"Lo perlu disetrika ya, Leen? Kusut amat," gerutu Insha. Tubuh gadis itu bergerak untuk membereskan buku-bukunya karena jam istirahat sudah tiba.

"Iya. Kenapa, sih, Leen? Mana suara kaleng rombeng lo? Biasanya juga udah rame." Fidelya menyahut dan mendekati bangku mereka berdua yang terletak di depannya.

Aileen enggan menjawab. Ia hanya merenggut dan kembali menggolekkan kepalanya di atas meja. Gerakannya lentur sekali, seperti tidak terdapat tulang.

"Rghhh."

Ctak!

Jitakan keras menyapa kepalanya. Menyebabkan ringisan kecil keluar dari bibir tipis Aileen. "Sakit, Insha ... kebiasaan banget mainnya kekerasan. Nanti gue laporin KPAI, loh!" ancam Aileen menatap sengit sahabatnya, yang sebenarnya tak berpengaruh apapun untuk Insha.

"Gak ada KPAI yang mau melayani lo. Udah SMA gini," sahut Insha malas.

"Ada, lah! Orang gue belum 17 tahun!"

"Otewe," timpal Insha lagi. Alis tebal gadis itu bergerak naik turun.

"Apaan sih, udah sana. Mau ke kantin kan? Jangan ganggu Aileen."

"Lo serius gak mau ikut? Biasanya lo yang paling semangat kalau ke kantin." Fidelya menyentuh kening Aileen, memastikan suhu tubuhnya takut-takut jika gadis itu terserang demam.

"Nggak. Udah sana, sebelum gue ngamuk!"

"Aneh banget jadi orang."

Akhirnya Insha dan Fidelya pun pergi, meninggalkan Aileen menggalau sendirian di kelas.

“Les, ya?” Aileen menggumam, mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja. Bibirnya berkerut ke depan. “Aileen gak mau.”

Air muka gadis itu semakin sendu. Detik kemudian tangannya memegangi perut yang terasa perih. Sial, ia kembali meninggalkan sarapannya pagi ini.

Jika banyak orang yang beralasan akan sakit perut ketika sarapan, tidak dengan Aileen. Dari kecil ia sudah diwajibkan untuk sarapan oleh keluarganya.

Justru kepalanya akan terasa pusing dan lemas kalau tidak sarapan, nyaris tak bisa melakukan kegiatan apapun. Sebesar itu dampaknya untuk Aileen.

Aileen bangkit, menyusul Insha dan Fidelya yang sepertinya sudah anteng di kantin. Membayangkan berbagai makanan di tempat istirahat sejuta umat itu membuat cacing-cacing di perutnya semakin demo.

Fidelya melambaikan tangan kala melihat Aileen menampakkan dirinya di area kantin. Gadis itu berjalan dengan lesu, seperti tak memiliki tulang dan otot penyusun sistem gerak.

“Pesenin gue makanan.”

“Labil. Tadi aja sok-sokan gak mau ke kantin.” Insha mencibir.

“Biar gue yang pesenin. Mau makan apa?”

Ah, Fidelya perhatian sekali. Ia tidak tega melihat wajah pucat Aileen karena kelaparan.

“Sekalian bayarin, ya?”

Fidelya mendengus mendengar permintaan Aileen. “Gak jadi. Pesen sendiri aja, sana!”

Aileen terkekeh geli. Membuat teman-temannya kesal adalah hobi tersendiri. “Iya-iya, nggak. Nih, samain kayak makanan kalian aja.” Aileen menyodorkan selembar uang dua puluh ribu.

Fidelya membeli soto, namun tidak menggunakan uang Aileen. Melainkan uangnya sendiri. Ia tidak tega melihat Aileen yang hanya dikasih uang jajan sebanyak lima puluh ribu untuk dua hari, walaupun sebenarnya cukup untuk makan siang.

“Gue disuruh les,” cerita Aileen akhirnya, saat ketiganya sudah berkumpul.

Insha menampilkan wajah terkejut yang sangat tidak elit. Mata melotot, kemudian mulutnya yang masih mengunyah makanan terbuka lebar. Malu-maluin aja emang, gak feminin banget kayak dua temannya.

“Lo gak les aja udah jadi juara umum, njir! Lah gimana sekarang? Makin susah aja gue yang peringkat belasan buat ngalahin lo!”

“Lo aja yang les gimana, Sha?”

Insha tertawa garing dengan pertanyaan Aileen. “Gak deh. Gue masih sayang nyawa, gak berani sama Tante Andini.”

Aileen menyimpan sendoknya ke atas mangkuk, membuat dentingan kecil terdengar. “Waktu kecil, gue selalu belajar sama Bibi sampai gak ada waktu untuk main. Em no, lebih tepatnya gak diizinin.”

“Gue pikir setelah SMA akan bebas, eh lebih dikekang ternyata.”

“Leen ....” Insha dan Fidelya memanggil dengan lirih. “Jadi selama ini lo se-tertekan itu?” sambung Insha.

Aileen mengangkat salah satu sudut bibirnya, tersenyum miring. “Kalian pikir gue menikmati kepintaran ini? Dituntut sana-sini itu gak enak, capek.”


***


Alven kehilangan akal sehatnya, lepas kontrol. Pria bongsor itu membabi buta memukuli seluruh tubuh Revan di taman belakang sekolah. Tak ada yang bisa menghentikan jika tanduk Alven sudah keluar, sekalipun Nathan.

Alven sama sekali tak memedulikan rasa sakit di telapak tangan kanannya, amarahnya terlalu mendominasi. Bahkan kini darah kembali merembes keluar dari perban yang membalut telapak tangannya.

Bagus, kemarin wajah Revan babak belur karena dipukuli Pangeran. Sekarang Alven.

Ya salah sendiri lah, ngapain cari masalah sama Aileen. Udah tahu pawangnya banyak.

Revan sama sekali tak terlihat kesakitan, walaupun di dalamnya sangat tersiksa. Ia hanya menampilkan tampang songong yang semakin memancing emosi Alven.

"Udah? Udah puas pukulin guenya? Udah puas bikin luka lo semakin parah?" Revan bertanya jengkel saat Alven menjeda aktivitasnya. Tangannya terangkat, menepuk-nepuk pundak Alven seolah tengah menghilang debu dari sana.

"Jangan berani sentuh gue dengan tangan kotor lo," sarkas Alven. Menepis kasar tangan Revan dari pundaknya.

"Dih? Lo aja berani sentuh tubuh gue yang kata lo kotor ini." Revan membalas sembari menaikkan sebelah alisnya.

"Kapan sih lo gak cari masalah, Van?"

Revan memasang ekspresi pura-pura terkejut. "Woahh, udah berani panggil nama langsung ya."

Alven mendelik. "Gue gak sudi panggil lo dengan embel-embel Abang."

"Gini deh, Ven, gue punya tawaran menarik buat lo. Kalau lo mau, Aileen gak akan digangguin Rajasakti apalagi Starschool. Dan lo juga bakal aman."

Alven seolah terhipnotis, ia cukup tertarik dengan tawaran Revan. Apapun untuk Aileen, apapun itu. Asalkan gadis itu aman.

"Apa?" tanya Alven dengan ragu, suaranya sangat kecil seperti sedang mencicit. Ia gengsi pada Revan.

Revan tersenyum puas, mangsanya sudah masuk ke dalam perangkap. "Gabung sama kita."

Alven tertegun, mencoba memahami ucapan Revan. Bergabung?

Tidak, tidak mungkin Alven bergabung dengan geng berandal seperti mereka. Sewaktu SMP Alven sudah dikenal bangor, dan kali ini ingin membersihkan namanya. Alven capek, ia kasihan pada orangtuanya jika dipanggil ke sekolah karena ulahnya.

Namun, bukankah apa saja jika demi Aileen?

BUKAN Friendzone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang