"Maaf, aku gagal menjagamu." -Alven Ezhard Nerithone
"Rugi, Bro, lo nolak Ka Selin."
Radhika masih saja mengomel di belakang Alven. Empat pria kelas sepuluh yang berhasil menjadi most wanted seangkatan di tahun pertama mereka itu sedang berjalan beriringan menuju kantin setelah pertandingan futsal selesai. Dengan Alven dan Nathan di depan, diikuti Radhika dan Keano di belakangnya.
Alven mengorek kupingnya, jengah dengan segala ucapan Radhika. "Rugi? Gue kan ada Aileen."
Tampak sang empu menggaruk tengkuknya sendiri. "Oh iya, kok gue bisa lupa, ya?"
"Pikun," celetuk Nathan cepat. Selanjutnya pemuda itu membuka tutup botol air mineral yang berada di genggamannya dan meneguknya sampai habis.
Para siswi yang masih menetap di sekolah di jam pulang ini melongo.
"Jakunnya naik turun!"
"Menggoda iman banget, ya Allah."
Nathan merasakan ada yang mencolek-colek leher belakangnya. Membuat ia kegelian sendiri.
"Kalau minum sambil duduk, Than," pesan sang pelaku, Keano.
Nathan hanya melirik sekilas, dan melanjutkan langkah bersama Alven.
"Kenapa ya Alven sama Nathan lebih banyak fansnya daripada kita, Yan?"
"Karena kalau ngefans sama lo takutnya mereka ketularan gak waras. Apaan sering nyolong pompom cheerleader, sinting, lo!" Keano menimpali pedas pertanyaan Radhika. Membuat wajah yang bertanya murung dan cemberut.
"Jahat banget, sih, Yan," lirihnya sok sedih, berusaha untuk mendramatisir suasana.
"Pala lu." Keano menoyor kepala sahabatnya hingga terhuyung. Tanpa ingin memedulikan Radhika lagi, ia segera duduk di meja kantin favorit mereka berempat yang sudah ditempati Alven dan Nathan.
Alven memakan pesanannya yang baru saja datang. Setelah menelan suapan pertama, ponselnya yang ia simpan di atas meja berdering. Nama Aileen tertera manis di sana bersama ikon telepon berwarna hijau dan merah.
Dengan senyum merekah, Alven mengangkatnya. "Halo, Tuan Putri. Sudah sampai rumah?"
Nathan, Radhika dan Keano berdecak bersamaan. "BUCINNYA KUMAT!" seru mereka serempak.
"Sshht!" Alven menempelkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk diam sebentar.
"Alven."
Kening Alven berkerut. Merasa heran dengan suara Aileen yang bergetar.
"Iya?" sahutnya mencoba tetap tenang. Tak ingin terlihat panik.
"Tolong ... Aileen takut, Alven, Aileen takut."
"Shit," desis Alven mengumpat. Menjauhkan sedikit ponselnya agar tidak terdengar Aileen.
"Kenapa?"
"Aileen dijebak sama Kak Revan. Angkot yang Aileen naikin supirnya dia, terus Aileen dibawa ke tepi jurang dan angkotnya meledak."
Bola mata Alven sudah berubah warna menjadi merah. Ulah apalagi yang dilakukan Revan?!
"Sharelock sekarang!"
Setelah berkata begitu, ia segera menutup sambungannya sepihak. Mendengar suara Aileen membuat emosinya semakin meningkat.
"Revan sialan."
Tiga teman Alven yang kebingungan hanya saling tatap bergantian, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun segera ikut berlari setelah Alven menginstruksikan.
"Harusnya gue gak latihan futsal. Harusnya gue anterin Aileen."
***
Aileen terus berusaha untuk menjauhi kobaran api yang semakin besar. Dari tadi ia sudah berteriak minta tolong, namun tak ada satupun orang yang datang. Mungkin karena memang daerah ini sepi.
"Aileen!"
Derap langkah seseorang mendekat ke arahnya. Dengan takut, Aileen menoleh ke sumber suara.
"Bajingan," desisnya pelan. "Lo gak papa?" Dimas bertanya khawatir dengan napas yang masih terengah, menangkup kedua pipi Aileen yang kotor dipenuhi tanah.
Bukannya senang, Aileen malah keheranan. "Dimas kenapa ada di sini? Padahal dari tadi Aileen minta tolong gak ada yang denger."
"Gue ikutin lo, soalnya curiga sama supir angkotnya. Dan ternyata benar."
"Dimas udah merasa? Kok gak kasih tahu Aileen!"
Bola mata Dimas berotasi malas. "Bego! Gue udah tahan lo, Bocil, tapi lo gak denger."
Sementara di tepi jalan, Alven memarkirkan motornya asal setelah merasa sampai di lokasi yang Aileen kirim. Matanya bisa melihat jelas langit yang merah di arah timur. Itu pasti akibat dari kebakaran dari angkot yang ditumpangi Aileen, ia yakin. Sial, tak ada siapapun yang melintas ke jalan ini. Revan benar-benar merencanakannya dengan baik.
Alven berlari, wajahnya benar-benar tampak gusar. Ia takut terjadi sesuatu pada gadisnya.
"Ven, hati-hati! Perhatikan langkah lo!"
Nathan berteriak memperingati, takut kalau Alven berakhir terjatuh. Pasalnya di tempat ini banyak ranting dan akar pohon yang timbul ke atas tanah, serta jebakan-jebakan untuk berburu binatang.
"Lepasin!" Alven menyentak karena Nathan menahannya. Wajah pria itu sama-sama terlihat marah.
"Gak! Biar gue yang pimpin jalan. Dhik, Yan, pegangin ni bocah!"
Alven berdecak. "Sialan, apaan sih, lo!"
"Bacot. Gak akan bener kalau lo kayak gini, Ven. Aileen bakal lama ketemunya," balas Nathan. Otak cerdasnya memang selalu berhasil untuk mengambil keputusan yang bijak.
Alven pasrah. Ia terus mengekori Nathan walaupun berada dalam kukungan Radhika dan Keano.
"Nathan, Aileen di sini!"
Sayup-sayup, telinga sang pemilik nama mendengar suara lemah seorang gadis yang terasa sangat familiar. Ia mempercepat langkah, namun tidak dengan ketiga temannya. Karena mereka tidak menyadari ataupun mendengar apapun.
"Ven, Aileen!"
Alven menoleh saat Nathan memanggilnya, melambaikan tangan untuk segera mendekat ke arah lelaki itu. Karena mendengar nama Aileen di ujung kalimat, ia setengah berlari.
Alven mengikuti arah pandang Nathan, sontak bola matanya melebar. Terlebih saat melihat pria di samping Aileen yang sama sekali tidak dikenalinya.
Alven berlari tanpa memedulikan apapun lagi. Ia sedikit menyingkirkan Dimas hingga terhuyung, kemudian membawa Aileen ke dalam dekapannya. Erat sekali, Aileen bisa merasakannya.
"Alven ....."
"Harusnya aku gak latihan futsal. Maaf." Alven berkata terputus-putus, karena napasnya sedikit berderu. "Maaf aku gagal jagain kamu. Aku gak becus, Aileen."
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN Friendzone!
Teen Fiction"Alven! Aileen suka sama Alven!" "Aku gak mau pacaran, Aileen. Kita masih kecil." *** "Kita udah beda SMA. Tunggu aku tiga tahun, ya?" "Emang penantian Aileen selama ini belum cukup, ya?" "Belum. Kita masih harus berjuang agar bisa benar-benar bersa...