11.

16 5 0
                                    

Setelah mendapat nomor WhatsApp Sevila, Septian langsung saja menyimpannya di kontak telepon. Septian menimang-nimang, haruskah dia mengirim chat? Tapi harus memulai dengan kata apa?

Saveback, Septian

Ah, tidak-tidak. Itu terlalu alay. Lalu, harus dengan apa?

P

Itu juga, terlalu tidak sopan. Ya, meskipun bukan sedang mengirim chat pada guru, tapi tetap saja.

Apa harus salam saja?

Atau apa? Septian benar-benar bingung. Dan anehnya, dia terdistraksi memikirkan Sevila. Gadis itu benar-benar berhasil menjadi pembuka pintu hati Septian setelah ia tutup rapat bertahun-tahun.

***

Di koridor sekolah, Sevila bertemu dengan Naira. Naira tengah bersama kedua temannya, hendak menuju ke ruang guru. Melihat Sevila yang senyum-senyum, Naira menatap kepo.

"Kenapa lo? Kesambet pagi-pagi?"

Sevila tersadar. Dia melunturkan senyumnya. "Nggak, Kak. Kan kata orang pagi itu harus dimulai dengan senyuman."

"Iya, sih. Cuma aneh aja. Biasanya lo datar kalau lagi jalan sendirian kayak gini."

"Kan ketemu Kakak."

"Iya juga sih. Bisa aje lo."

"Kakak mau ke mana?"

"Koperasi."

"Oh..."

Naira menepuk pundak Sevila, membisikinya sesuatu,

"Septian udah datang tuh di kelas."

Sevila sontak menjauhkan dirinya dari Naira. "Apaan sih, Kak." Sevila salah tingkah. Naira benar-benar seperti cenayang. Tebakannya selalu tepat.

"Ya udah deh, gue duluan. Bye!"

Sevila segera melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Sesampainya di bangkunya, Sevila tidak bisa fokus. Dia terbayang-bayang ucapan Naira. Septian udah ada di kelas. Ya itu kan urusan dia. Tidak ada sangkut pautnya dengan Sevila. Tapi, kenapa Sevila jadi kepikiran?

Arrgghh. Sepertinya Sevila mulai melupakan benih-benih benci yang sempat ditaburnya kemarin.

***

Sevila tengah belajar di ruang lab Biologi bersama teman sekelasnya. Setelah bel istirahat, guru pengajar keluar dari lab. Sementara Sevila masih bertahan dengan Femi dan Renata.

"Mau jajan apa hari ini, guys?" Tanya Femi.

"Apa aja deh, tapi yang nggak pedas. Gue lagi diet pedas." Sahut Renata.

Femi menyentil pipinya, "gaya-gayaan diet pedas!"

"Gue lagi mens." Ungkap Renata.

"Kalo lo mau jajan apa?" Tanya Femi pada Sevila.

"Mau yupi."

"Buset, stok yupi yang kemarin udah habis semua?"

"Hah?" Sevila tidak sadar saat mengatakan permintaannya pada Femi. Menyadarinya, Sevila jadi malu sendiri. Jelas-jelas yupi pemberian Septian masih ada di atas meja belajarnya. Dia berniat tidak mau memakannya dulu sampai beberapa hari.

"Maksud aku, mau beli mie ayam."

"Idih, nggak jelas." Sindir Renata.

"Darimana keseleonya, yupi ke mie ayam?" Tanya Femi.

"Ahhh, tau ah! Pokonya gitu." Sevila mulai salah tingkah. Dia mendorong kedua temannya agar segera keluar dari lab karena sebentar lagi akan dikunci kembali oleh penanggung jawab keamanan ruangan.

"Btw, lo udah tahu si pengirim yupi?" Tanya Renata.

"Apa?" Sevila melirik Renata. Dia benar-benar tidak fokus sedari tadi.

"Si pengirim yupi? Itu siapa?" Tanya Femi gemas.

"Oh itu ... Penggemar aku lah."

"Pede banget punya penggemar, artis lo?"

"Ya kalau gitu siapa lagi? Orang Kak Naira bilangnya gitu."

"Iya, sih...,"

"Udah deh, nggak usah bahas yupi. Mending jajan yuk sekarang ke kantin. Lapar banget, nih!" Sevila mendorong lagi punggung kedua temannya agar mempercepat langkah. Tidak tahu saja mereka, muka Sevila sudah berubah warna jadi merah karena menahan malu.

"Lo sendiri yang duluan ngomongin yupi." Kata Femi.

Iya juga sih. Tapi kan itu keceplosan. Arrghh. Sevila benar-benar malu.

Ya Tuhan, dia harus apa? Tidak mungkin Sevila bercerita pada Femi dan Renata tentang kenyataannya. Dia takut diledekin. Lagipula saat ini dirinya masih berada di anak tangga pertama. Belum ada apa-apanya. Bisa jadi dia terus naik, bisa jadi kembali turun.

Di tidak mau geer duluan.

***

Di kantin, Sevila segera memesan mie ayam sesuai ucapannya tadi. Dibawanya mie ayam itu ke sebuah meja kosong di kantin. Sevila, Femi dan Renata melahap makan siang mereka. Tak disadari, Septian berjalan mendekat ke arah Sevila.

Dengan posisi mie yang masih menggantung di mulutnya, Sevila melirik Septian. Cowok itu tersenyum tipis. Sevila buru-buru menyeruput mienya, kemudian minum air.

Sumpah, Sevila deg-degan. Kenapa Septian harus senyum sih?

Septian juga duduk di bangku sebelah Sevila. Menambah kegugupan Sevila jadi berkali lipat. Jika boleh minta permintaan sama Jin untuk saat ini Sevila ingin menghilang saja. Dia paling suka gugup kalau lagi makan dilihatin. Apalagi ini sama orang yang disukainya.

Sevila menggeser posisi, membelakangi Septian. Meski tak melihat wajahnya, Sevila punya firasat jika Septian memandangnya.

Biasalah, cewek kalau geer.

***

Story of September [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang