"Pah, aku boleh pacaran kapan?"
Sevila sekonyong-konyong menanyakan hal itu. Padahal dia tahu, Papanya akan menjawab apa.
"Kenapa tanya gitu? Udah mau?"
"Ya tanya aja, Pah. Biasanya juga obrolan kita random."
"Hmm..." Nugi mengetukkan jarinya di dagu, seolah tengah berpikir keras. "Kalau Papa bilang nggak boleh pacaran sampai kapan pun, tanggapan kamu gimana?"
Sevila tersenyum, "Papa pernah bilang kalau aku udah lulus kuliah, kehidupan aku biar aku sendiri yang atur, kan? Nah, aku pacaran pas itu aja. Nggak perlu tuh, minta persetujuan dari Papa."
Nugi terkekeh, "tetap aja nanti kalau nikah Papa dan Mama yang ngasih restu kamu."
"Aku nanyanya pacaran, Pah. Kalau nikah mah masih lama."
"Iya-iya. Kamu nanti pacarannya kalau udah mau serius aja, biar masih lama."
"Kenapa gitu?"
"Soalnya ... Papa nggak mau kamu jadi nggak fokus belajar."
Sevila menatap Papanya dalam. "Bilang aja kalau Papa nggak mau peri kecilnya jadi sibuk sama cowok lain selain Papa."
"Kamu tuh ya," Nugi mencubit hidung Sevila gemas, "suka bener!"
Tawa keduanya meledak. Ternyata semudah itu mengembalikan mood Papanya. Sevila tahu, Papanya sangat menyayanginya. Dia hanya tidak mau Sevila tidak fokus belajar karena pendidikan adalah yang terpenting. Nugi juga pasti tidak mau anak perempuan yang ia besarkan penuh kasih sayang disakiti oleh laki-laki yang hanya orang lain dalam kehidupannya.
Sevila juga merasakan hal yang baru ia sadari belakangan ini. Sebelum kedatangan Septian, dia begitu tidak peduli dengan yang namanya pacaran. Dari dulu, sebenarnya Papanya sudah sering bawel mewanti-wanti agar Sevila tak pacaran dulu. Sevila sampai ogah-ogahan menjawab dia memang juga tak mau pacaran di usia yang masih belia.
Tapi semenjak ada Septian, Sevila mulai bimbang.
Jawabannya tak lagi sama pada Nugi.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya untuk mengatakan tidak. Jujur, Sevila sudah jatuh cinta pada Septian dan tidak mau kehilangannya.
Salahkah?
****
Setelah selesai upacara bendera, seluruh masyarakat SMA Gerhana Bulan berbondong-bondong kembali ke habitatnya masing-masing.
Di koridor, Sevila tak sengaja berpapasan dengan Septian. Cowok itu terlihat lebih tampan dari biasanya.
"Kakak potong rambut?" Tebak Sevila.
Septian mengangguk. "Keren nggak?"
"Hmm, biasa aja." Jawab Sevila.
Senyuman Septian luntur. Padahal dia kemarin menghabiskan waktu seharian di tempat pangkas rambut hanya untuk mengamati orang-orang yang datang dan memilih potongan rambut seperti apa. Sampai akhirnya dia menemukan potongan yang pas. Bahkan, orang-orang rumahnya memuji Septian karena potongan rambut barunya memang membuatnya terlihat lebih keren.
Tawa Sevila tergelak, "becanda, Kak. Keren kok. Kakak terlihat lebih tampan."
Dikatai seperti itu, Septian jadi salah tingkah. "Serius?"
Sevila mengangguk mantap. "Iya!"
Dari belakangnya, Femi dan Renata berlari cepat dan kemudian menggandeng Sevila. Mereka mengernyit mendapati Sevila yang senyum-senyum sendiri dan di depan mereka ada Septian yang tengah menatap ke arahnya.
"Lo ...?" Femi melirik Septian dan Sevila bergantian.
"Duluan, ya, Kak!" Sevila berujar. Kemudian dia segera menarik lengan kedua temannya untuk berjalan cepat menuju kelas.
Sevila kelepasan. Dia sebenarnya juga tak mau berinteraksi seolah-olah dia kenal dekat dengan Septian di sekolah. Bagaimana pun, Sevila harus menjaga dirinya.
Di kelas, Femi dan Renata menyidang Sevila. Keduanya sudah melipat tangan di depan dada. Bahkan Renata menatap Sevila penuh intimidasi.
"Jelasin ke kita, apa maksudnya yang barusan?"
Sevila menghela napas. Giliran hal-hal seperti ini teman-temannya sangatlah peka.
"Nggak ada apa-apa." Kilah Sevila.
Femi menggebrak meja, "dusta! Gue tahu lo barusan ada apa-apa sama Kak Septian."
Sevila kalah telak. Sepertinya tak ada gunanya juga dia mengelak. Apalagi ini teman dekatnya. Pasti Femi dan Renata akan sangat kecewa jika Sevila tidak mempercayakan mereka tentang ceritanya. Toh, dia juga dan Septian sudah dekat agak lama. Jadi, tidak ada salahnya kan?
"Iya-iya, aku ngaku deh!" Sevila sengaja memberi jeda. Dia sebenarnya terlalu gugup untuk mengaku. "Sebenernya, aku sama Kak Septian emang kenal dekat."
"Serius? Sejak kapan?"
"Hmm, lupa sih tepatnya. Tapi belum ada sebulan kok."
"Kok bisa tiba-tiba deket? Kenal dari mana?"
"Ya kenal aja. Dia kan Kakak kelas."
"Gue juga tahu Maesaroh!" Omel Renata. "Maksud gue, kok bisa dekat?"
"Aku juga nggak tahu!" Elak Sevila. "Tiba-tiba aja."
"Lo senang?" Tanya Femi.
Sevila mengangguk canggung, "dia cowok baik-baik kok. Kita sebenarnya punya tanggal lahir yang sama, makanya mungkin gampang dekat."
"Cieeelah, kayaknya gue juga pengen nyari cowok yang tanggal lahirnya sama deh kayak gue." Ungkap Renata.
"Iya, lebih baik lo move on. Ngapain mikirin yang udah ada pawangnya terus, kan?" Timpal Femi.
"Tapi dimana ya gue dapet yang sama kayak gue tanggal lahirnya?"
"Cari aja di buku tahunan sekolah. Pasti nemu deh."
"Eh, kayaknya agak susah ya kalau Renata. Soalnya kan lahirnya aja tanggal 29 Februari." Pikir Sevila.
"Iya juga!" Cetus Femi.
Femi dan Sevila tertawa mengejek, sementara Renata cemberut. "Apa si pemberi yupi itu kak Septian juga?" Tebak Renata.
Sevila tertohok, "hmm, iya ..." Jawabnya pelan.
Femi dan Renata saling tatap. Tak menyangka ternyata Sevila akhirnya punya gebetan juga. Selama ini, yang sering bercerita hanya Femi dan Renata. Tentang gebetannya Femi yang udah jadi mantan dan gebetannya Renata yang cowok orang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of September [end]
Teen FictionSeptian lahir pada awal bulan September, begitupun dengan Sevila. Keduanya memiliki nama yang hampir sama. Septian dan Sevila sama-sama bodoh dalam dunia per-bucinan. Keduanya bertemu tanpa sengaja, menjalin ikatan batin dan mengulas hari dengan pen...