12.

14 5 0
                                        

Septian benar-benar tidak bisa bersabar lagi untuk tidak menghubungi Sevila. Lagipula untuk apa dia meminta nomor WhatsAppnya jika bukan untuk berkomunikasi?

Septian menimang-nimang kata yang pas. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah topik,

Waktu itu lo tahu Instagram gue darimana?

Septian menghela nafas. Kadang dia bisa begitu bodoh di beberapa situasi. Kenapa sih dengan jarinya? Kenapa harus mengetik demikian? Topik sih topik, tapi terlihat begitu aneh bukan belum ada salam atau apa langsung tanya begitu. Pastinya Sevila juga belum tahu ini nomornya.

Septian menunggu sampai beberapa menit. Status WhatsApp Sevila masih offline. Sampai Septian ketiduran dan lupa mandi sore, saat terbangun, Sevila sudah membalas.

Ini Kak Septian ya?

Nyari sendiri Kak

Septian tercengang membacanya. Hebat sekali perempuan, bisa menemukan Instagram seseorang meski tak mengenalnya.

Sengaja follow?

Nggak juga. Tadinya kepencet Kak

Oh kepencet

Septian meluruhkan bahunya. Ternyata itu alasannya. Septian sedikit merasa sedih. Ternyata Sevila tidak benar-benar tertarik padanya dari awal.

Iya Kak

Septian tidak selera lagi membalas chat Sevila. Rasanya seperti bagaimana ya, dia terlalu excited, tapi ternyata kenyataannya tidak sesuai dengan ekspetasinya.

Septian mematikan ponsel. Dia mandi sore, kemudian melakukan aktivitas lain agar tidak membuka ponselnya.

***

"Kok dia nggak bales lagi ya? Apa aku balasnya terlalu SPJ?"

Sevila mengoreksi chat terakhir yang dikirimnya. Memang SPJ.

Iya Kak

Kalau sudah Iya, kira-kira Septian mau balas apa lagi? Hooh? Nggak mungkin juga kan.

Tapi status pemberitahuan dibacanya masih ceklis dua abu, kemungkinan Septian bukannya tidak mau membalas, tapi belum membalas. Bisa saja dia tidak main ponsel lagi, kan?

Sevila menyerah. Dia pun menyimpan ponselnya dan kemudian mandi sore. Dari sepulang sekolah, Sevila keasyikan menonton film bioskop yang tayang di TV bersama Mamanya.

***

Malam harinya, selesai makan malam, Sevila duduk di ruang tengah. Tiba-tiba Papanya datang menghampiri.

"Kamu ada PR nggak buat besok?" Tanya Papa.

"Nggak, Pah. Sekarang jarang ada PR, tugasnya di sekolah mulu."

"Oh, bagus itu. Jadi kalau di rumah kamu bisa fokus belajar." Papa Sevila mengusap rambutnya. Ditatapnya putri semata wayangnya itu.

"Yang pinter ya sekolahnya." Ucap Papa.

Sevila hanya mengangguk. Tadinya dia ingin nonton sinetron, tapi setelah kedatangan Papanya dan berbicara hal-hal seperti itu membuat moodnya turun.

Kira-kira orang-orang gitu juga nggak ya? Kalau membahas tentang sekolah dengan orang tua rasanya seperti membahas hal sensitif.

Tak mau berlama-lama, Sevila memilih langsung pergi ke kamarnya. Tak punya pilihan lain, pelariannya jadi ke ponsel. Sevila membuka aplikasi WhatsAppnya, pesan yang ia kirim pada Septian belum juga dibaca.

Sevila menghela nafas. Kenapa Septian seperti layang-layang? Tarik ulur perasaannya. Tak bisa ditebak, kadang bisa seperti yang memberi harapan, bisa jadi yang tidak tertarik pada Sevila.

Kepalang kesal, Sevila membuat sebuah Snap WhatsApp,

Kok bisa ya, ada orang yang mirip bunglon. Kadang hijau, kadang cokelat. Kadang seperti tertarik, kadang tidak. Huft.

Setelah mengirimnya, Sevila sibuk membaca pesan-pesan di grup kelasnya. Biasanya jika malam, grup WhatsApp akan ramai dengan pembahasan yang ngalor ngidul.

Setelah membaca semua pesan di grup tanpa berniat memberi balasan, Sevila mengecek Snap WhatsAppnya. Kepo, Sevila mengecek siapa yang sudah melihatnya. Sevila sedikit memicing ketika melihat ada nama Septian di sana. Refleks ponsel Sevila dilempar ke atas bantal. Kesal bukan main.

"Kok bisa sih, ada orang yang nggak ngasih balasan tapi sempat buat lihat Snap WhatsApp?"

Dada Sevila sesak, kedua matanya tiba-tiba memanas.

"Kok aku lemah banget ya. Padahal kan belum secinta itu sama dia." Cicitnya.

Memangnya, membalas pesan yang sudah tidak terbayang ujungnya itu penting ya?

***

Story of September [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang