Septian berjalan di koridor sekolah dengan kedua tangan yang masuk kantong celana. Dari cara berjalannya saja, sudah memperlihatkan jika Septian tipe cowok yang cool. Tapi anehnya, tidak pernah ada cewek yang terang-terangan tertarik dengan dirinya. Dari menginjakkan kaki sebagai siswa baru sampai saat ini, Septian belum sekali pun merajut kisah di masa SMAnya.
Langkah Septian terhenti ketika berpapasan dengan Sevila.
Tahukah, ketika kita tidak kenal dengan seseorang, kita akan selalu menganggap tidak pernah berjumpa dengannya. Tapi sekali kenal, kita akan terus bertemu, bertemu bahkan dunia ini terasa sempit karena pemandangan yang terlihat melulu dengan dia.
Septian berusaha untuk menjadi kakak kelas yang ramah. Dia sedikit menyunggingkan senyum pada Sevila. Namun di luar dugaan, respons Sevila ternyata hanya datar dan langsung berpaling seolah-olah dia tidak mengenal Septian.
Tunggu-tunggu! Memang apa yang diharapkan oleh Septian?
Merasa egonya sedikit tergores, Septian melanjutkan perjalanan menuju kelasnya. Matanya memicing ketika melihat bungkusan berwarna cokelat yang tersimpan di atas mejanya. Septian celingukan sampai akhirnya bersitatap dengan Lea.
"Happy birthday for U. Sorry telat. Gue tadinya mau kasih pas tanggal satu, tapi ternyata ada urusan mendadak. Bahkan gue juga bolos ekskul." Ungkap Lea.
Septian mengulas senyum. Dibanding memiliki gebetan, Septian sudah menemukan sahabat perempuannya. Azalea. Meski kata orang tidak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang murni, tapi bagi Septian ada. Bukti nyata adalah mereka berdua. Entahlah, Septian sangat yakin jika di antara mereka tidak ada yang saling menyimpan rasa.
Itulah yang ia rasakan. Sebelum hari ini, dan kado yang diterimanya dari Lea untuk pertama kali.
***
Naira menghampiri Sevila di kelasnya saat jam istirahat. Ternyata, sesuai dugaan Sevila sebelumnya, Naira pasti menyimpan curiga atas apa yang dilakukannya pada malam Minggu kemarin, saat Sevila menanyakan soal Septian.
"Hai, Sev." Sapa Naira.
Sevila tersenyum kaku. "Hai, Kak."
"Udah jajan ke kantin?"
Sevila mengangguk, "tadi, udah."
"Oh, ok." Naira memandang Sevila, lama-lama membuat Sevila salah tingkah. "Lo pasti tahu maksud kedatangan gue ke sini gara-gara apa."
"A-apa?"
"Soal yang waktu malam Minggu itu. Yang tiba-tiba lo nanyain soal Sep—"
Sevila memotong ucapan Naira, "iya, Kak! Udah ya jangan dibahas lagi. Itu cuma nanya aja kok."
Sebelah alis Naira terangkat, menatap Sevila dalam. "Serius?"
"Iya." Jawab Sevila gugup. Detik berikutnya, kekehan Naira terdengar nyaring. "Padahal sama gue mah santai aja kali. Kalaupun emang lo ada something, gue mungkin bakal bantu."
Sevila jadi malu sendiri. Seperti sudah kepergok saat menyontek oleh guru pengawas. "Gak apa-apa kok, Kak. Beneran aku cuma nanya aja."
"Ya udah, sih. Padahal gue mau ngasih tahu, kalau lo mau ngedeketin Septian juga gampang. Dia nggak pernah pacaran. Sekalinya tertarik sama lo, lo pasti beruntung banget."
Sevila tidak menjawab. Dia terlalu gugup dengan pembahasan ini yang sedikit sensitif.
"Ok kalau lo emang nggak mau bergerak lebih. Kalau gitu gue balik ya. Bye!"
"Bye, Kak!" Sevila melambaikan tangannya. Setelah Naira tidak terlihat dari ambang pintu, Sevila baru bisa bernafas lega.
Syukurlah, Naira tidak memaksanya. Meskipun ini terlalu blak-blakan bagi Sevila. Tapi ini semua juga salahnya, semuanya memang patut Sevila terima.
Satu hal yang harus ia pastikan saat ini. Jangan sampai orang lain tahu, termasuk Septian. Sevila tidak mau cowok itu kegeeran dan menganggapnya kecentilan karena sekali ditolong langsung nyari tahu tentangnya.
Setelah Septian mencampakkannya, mana mau Sevila untuk berusaha lagi, bukan?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Story of September [end]
Novela JuvenilSeptian lahir pada awal bulan September, begitupun dengan Sevila. Keduanya memiliki nama yang hampir sama. Septian dan Sevila sama-sama bodoh dalam dunia per-bucinan. Keduanya bertemu tanpa sengaja, menjalin ikatan batin dan mengulas hari dengan pen...