18.

19 6 0
                                        

Septian tengah menunggu sang Kakak yang tiba-tiba saja malam-malam minta dianterin ke Minimarket. Bilangnya cuma 5 menit, tapi 15 menit lewat belum keluar juga. Dikira Septian tak bisa melihat apa dari luar, Febriana terus saja bolak-balik dari rak satu ke rak lainnya dan mengambil beberapa barang yang kemudian dimasukannya ke dalam keranjang belanja.

Septian menyesal tidak mengenakan jaket. Kaosnya yang pendek membuat angin hilir mudik menyentuh kulitnya. Septian memeluk diri sendiri. Tiba-tiba saja dia teringat Sevila. Kira-kira gadis itu sedang apa ya? Pasti dia sedang tiduran di kamarnya dengan dibalut selimut yang hangat.

Ahhh ... Septian ingin cepat-cepat pulang. Dia rindu Sevila. Untuk malam ini, sekali lagi dia video call mungkin tidak apa-apa kali ya. Lagipula Sevila juga pernah bilang jika dia jarang ada tugas sekolah kalau di rumah.

Setelah bersabar beberapa menit lagi, akhirnya Febriana keluar minimarket. Dua kantong belanja besar ditentengnya keluar. Dengan muka tak berdosa, gadis itu nyengir kuda.

"Tenang aja, gue beliin minuman kesukaan lo." Kata Febriana.

Septian tidak peduli. Dia langsung saja menyalakan mesin motornya. Setelah sang kakak naik, dia langsung menarik gas dengan kencang. Hampir saja kakaknya yang bertubuh ramping itu terjungkal.

Setelah sampai rumah, Febriana langsung saja menabok pantat Septian keras-keras di depan sang Mama.

"Kenapa sih, ribut-ribut?" Tanya Mama.

"Ini loh, Ma. Masa anak Mama make motornya digas kenceng banget. Udah tahu badan aku segede bihun, ya mau kebawa angin!" Ungkap Febriana.

Andini—mama mereka menggelengkan kepala. Heran dengan kelakuan dua anaknya ini.

"Septian, lain kali bawa motor hati-hati. Untung aja nggak terjadi kecelakaan apa-apa." Peringatnya.

Septian hanya mengangguk. Dia kepalang kesal dengan ucapan Kakaknya yang selalu tidak sesuai ekspetasi.

Sebelum masuk kamar, Septian mengambil minuman yang dijanjikan Kakaknya. Kemudian dia segera naik ke atas dan masuk kamarnya.

Septian mengunci pintunya.

***

Di kamarnya, Septian membuka ponsel. Dia lupa tadi sudah mau menelepon Sevila lewat video call. Septian akhirnya bermain game online sampai tengah malam.

Biasanya, kalau dia sedang dalam suasana hati yang buruk, game akan menjadi penenang nomor satu.

***

Papa Sevila baru pulang saat makan malam lewat. Sudah beberapa hari ini, Papanya memang sibuk sekali di kantor. Katanya sedang ada tender. Sevila tidak mengerti, dia hanya pura-pura mengerti saja.

Papanya datang dengan membawa martabak cokelat dan martabak keju. Sevila orang pertama yang menyambut martabak itu di rumah. Papanya tahu saja, selain yupi, Sevila adalah penggemar berat martabak cokelat.

"Tadi Papa ketemu sama temen Papa yang anaknya udah keterima di Universitas luar negeri." Terang Nugi—papanya Sevila.

"Katanya, anaknya tuh dari dulu selalu fokus belajar. Makanya, nilai-nilai yang terkumpul membuat dia mudah diterima saat masuk Universitas."

"Waaahh, keren banget bisa kuliah di luar negeri." Timpal Santi—mama Sevila.

"Iya, Ma. Papa sih pengennya anak kita juga bisa sampai keterima di Univ luar negeri. Yaaa, minimal di Sydney jangan jauh-jauh ke Amerika."

Sevila yang tengah asyik makan martabak seketika terhenti kegiatannya. Jujur, dia juga tertarik dengan dunia perkuliahan di luar negeri. Selain mengejar pendidikan yang terbaik, dia juga merasa keren bisa kuliah di luar negeri.

Tapi apa daya, dia cukup sadar diri. Siswa terpintar di angkatannya saja belum tentu keterima di Universitas luar negeri.

"Bagaimana sekolah kamu, Sev?" Akhirnya pertanyaan datang juga pada Sevila.

"Baik-baik aja kok, Pa."

"Ingat pesan Papa ya, fokus! Kamu harus bisa jadi siswa terbaik di sekolah. Ya, minimal nanti kamu keterima masuk di Universitas Negeri lah."

"Papa doain aja. Sevila juga berencana mau bimbel nanti, kalo udah kelas 12."

"Kenapa nanti? Dari sekarang aja, biar persiapannya matang."

Sevila menghela, "capek, Pa. Mau menikmati dulu jadi anak SMA normal."

Kini giliran Nugi yang menghela napas. "Ya sudah, terserah kamu. Tapi kalau sampai nilai kamu anjlok, Papa harap kamu mau tidak mau masuk bimbel yang terbaik pilihan Papa."

Sevila hanya mengangguk. Selera makannya hilang. Dia mencuci tangan di wastafel dapur, kemudian segera masuk kamar.

Sevila merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memang perbincangan orang tua pada anaknya hanya seputar pendidikan saja? Sevila tahu, pendidikan itu penting dan nomor satu. Tapi apa tidak bisa menundanya dulu? Sevila baru masuk SMA, dia masih mau menikmati masa putih abu. Sudah bagus dia mau menunda pacaran seperti pesan Papanya dulu. Masa iya, dia juga harus merelakan masa putih abunya yang indah dan bebas demi bimbel yang di beberapa kasus membuat siswa malah menjadi stres.

Sevila menggelengkan kepalanya kuat. Omong-omong soal bimbel, dia tidak tahu apakah Septian juga ikut bimbel atau tidak.

Kalau Septian ikut bimbel, Sevila mau deh ikut juga. Mungkin nanti dia akan meminta Papa untuk dimasukkan ke tempat bimbel yang sama dengan Septian.

Ah, Sevila-Sevila. Apa-apa disangkut pautkan dengan Septian.

Biasalah, cewek kalau udah bucin!

***

Story of September [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang