27.

12 5 0
                                    

Sevila harap-harap cemas. Di depan standing mirror di kamarnya, dia terus mematut diri. Malam itu, Sevila mengenakan atasan berwarna putih yang disandingkan dengan jeans berwarna abu-abu. Tak lupa, dia juga mengenakan kardigan rajut berwarna cokelat, kardigan yang lagi viral di zaman sekarang.

Di ruang tengah, Papa dan Mamanya sedang asyik menonton siaran di televisi. Sevila belum bilang jika dia akan pergi malam ini.

Di atas nakas samping tempat tidurnya, ponselnya berdering. Telepon dari Naira. Sevila segera mengangkatnya.

"Hallo, Kak?"

"Sev, gue udah setengah jalan ini. Lo udah siap-siap?"

"Udah-udah, Kak. Nanti aku tunggu di depan ya. Aku bilang dulu sama Papa Mama."

"Ok."

"Ditunggu ya, Kak."

Sevila mematikan sambungan telepon. Menghirup napas panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan. Sevila bertekad, sekarang juga dia akan minta izin pada Papanya.

Sevila membuka pintu kamar perlahan. Kenapa rasanya segugup ini? Padahal cuma bilang mau pergi. Mungkin karena ini first time dia pergi malam Mingguan, sama cowok pula.

Setelah berada di samping sofa, Nugi dan Santi menoleh pada Sevila bersamaan.

"Tumben udah rapi, mau kemana nih?" Tanya Santi.

Baru ditanya seperti itu saja, Sevila semakin gugup.

"Mau pergi malam, Sev?" Kali ini Nugi yang bertanya.

Takut-takut, Sevila mengangguk. "Iya, Pah. Boleh nggak?"

Merasa ucapan Sevila serius, Nugi mengalihkan atensinya dari televisi. "Mau pergi ke mana memang? Nggak bisa besok aja?"

"Nggak bisa, Pah. Anu ... Mau ke mal, sama temen aku."

"Ya ampun, dasar anak muda. Mentang-mentang malam Minggu mau jalan ke mal." Komentar Santi.

"Temen kamu cewek atau cowok?" Tanya Nugi.

"Emm ... Cewek, Pah. Nanti dia jemput kok."

"Yang kemarin malam?"

Sevila menggeleng, "bukan. Ini temen deket aku." Terpaksa dia mengatakan itu, karena pastinya Papanya akan lebih mempertimbangkan untuk mengizinkan.

"Sampai jam berapa?"

"Nggak tahu. Tapi nggak sampai malem banget kok."

"Nggak sama cowok, kan?"

Mampus. Ditanya juga seperti itu. Sevila bingung harus jawab apa.

"Eng—"

Ting nonggg...

Beruntung, Sevila diselamatkan oleh suara bel rumah. Sepertinya Naira sudah sampai. Saat Santi beranjak untuk membuka pintu, Sevila memanfaatkan kesempatan untuk kabur ke kamarnya sekalian mengambil tas dan ponsel.

****

Naira menyerahkan sekantong martabak pada Santi saat sudah diterima di ruang tamu. Sebenarnya martabak itu adalah titipan dari Septian. Tapi Naira sendiri yang membelinya, katanya Septian nanti akan mengganti uangnya.

"Waahh, dibawain martabak segala. Makasih, loh." Ujar Santi. Wanita dewasa itu segera pergi ke dapur untuk membawakan minuman.

Naira duduk di sofa, di depannya sudah ada Nugi yang menatapnya seperti tengah menyidang.

"Kamu temannya Sevila?" Tanya Nugi.

Story of September [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang