29.

11 5 0
                                    

Sevila mengeratkan kardigan ke tubuhnya. Angin malam ditambah hujan benar-benar perpaduan yang pas untuk membuat orang-orang kedinginan. Sevila jadi ingin segera sampai di rumah. Kalau lagi hujan begini enaknya ada di kamar, di selimuti selimut yang tebal, kemudian ditemani secangkir teh manis panas dan tentu saja, musik yang mengalun lembut di pendengaran.

Septian melirik Sevila. Kebetulan, dia mengenakan jaket kulit yang hangat. Namun jika jaketnya dilepas, dia nanti yang akan kedinginan karena hanya mengenakan kaos pendek.

Tapi, Septian tidak tega melihat Sevila yang kedinginan.

"Mau cari tempat anget dulu nggak? Sambil nunggu hujannya agak reda." Tawar Septian.

Sevila melirik jam tangannya cemas. Sudah jam setengah 10 malam.

"Kira-kira hujannya lama nggak ya?" Tanya Sevila.

Septian mengedikkan bahunya. "Hujannya lumayan deras, jadi biasanya agak cepat reda."

Septian menunjuk kafe di samping mal. Kafe yang terlihat hangat di dalamnya dengan cahaya lampu berwarna oranye. Nampak beberapa orang juga berteduh di sana.

"Ke sana dulu yuk!" Ajak Septian. Sevila hanya mengangguk pasrah. Toh, di depan mal juga dia kedinginan. Lebih baik masuk ke kafe.

Di kafe tersebut, Septian memesan segelas kopi dan susu hangat. Dibawanya pesanan itu ke meja yang sudah diduduki oleh Sevila. Kini, gadis itu tengah berusaha membuat tangannya agar tetap hangat dengan cara digosok-gosokkan.

"Minum dulu ini," Septian menyerahkan susu hangat pada Sevila.

Sejujurnya, Sevila masih merasa kenyang, apalagi kalau ditambah minum dia pasti eneg. Tapi disaat situasi seperti ini, cara apa pun untuk menghangatkan tubuh pasti terpaksa ia lakukan.

"Makasih, Kak." Sevila menyeruput susu hangatnya perlahan. Saat melewati tenggorokan dan sampai ke perutnya, rasa hangat menjalar. Membuat tubuh Sevila terasa lebih rileks.

Sevila tak henti-hentinya menghitung pergerakan jarum jam di tangannya. Sudah jam 9 lewat 40 menit malam. Dia harap-harap cemas, perjalanan dari mal ke rumahnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Apalagi di saat hujan seperti ini, pasti jalanan licin dan para pengendara melaju lambat.

Sevila sedikit menyesali kebohongannya tadi saat berangkat. Dia kan janjinya akan pulang sebelum jam 10 malam.

"Cemas, hmm?" Tanya Septian. Dia juga sebenarnya merasa tak tenang karena membawa anak gadis orang sampai malam.

"Takutnya nanti Papa nyariin." Lirih Sevila.

"Gue minta maaf ya," ujar Septian.

Sevila menatap Septian, "kenapa minta maaf? Kakak nggak salah. Ini juga rencana aku."

Septian meraih tangan Sevila. Digenggamnya erat. "Kalau gitu, ini pengalaman pertama yang harus diabadikan."

Mendengar kata diabadikan, Sevila mengeluarkan ponselnya. Untuk pertama kalinya, dia mengajak Septian untuk selfie. Tak peduli bahkan pengunjung di samping meja mereka menatap aneh karena melihat sepasang remaja itu berselfie ria.

Cekrekk.. cekrekk..

"Kata Kakak kan harus diabadikan." Ujar Sevila polos.

Septian hanya tersenyum. Dia sangat gemas pada tingkah Sevila yang diluar dugaannya.

Waktu semakin berlalu. Sudah jam 9 lewat 50 menit. Sevila sudah semakin cemas.

"Kabarin aja bokap lo, bilang kalau kehujanan di mal." Saran Septian.

Sevila mengangguk. Dia mengirimkan pesan pada Papanya dan izin kemungkinan akan pulang lewat jam 10. Sevila juga mengirim chat pada Naira, menanyakan keberadaan kakak kelasnya itu. Ternyata Naira juga terjebak hujan di mal tempatnya malam Mingguan.

Story of September [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang