"Kok bisa ya ada orang yang seperti bunglon, kadang hijau kadang cokelat, kadang seperti tertarik, kadang tidak." Septian membaca ulang Snap WhatsApp yang diunggah Sevila. "Maksudnya apa coba?"
Entah kenapa, saat membacanya pertama kali, Septian langsung merasa ada sesuatu dibalik tulisan itu. Septian memang tidak tahu tujuannya untuk siapa. Tapi jika dipikir-pikir lagi, Septian bisa introspeksi diri.
"Seperti bunglon, kadang hijau kadang cokelat..."
"Kadang seperti tertarik, kadang tidak..."
Septian manggut-manggut, dia sepertinya tahu maksud ini. Mungkinkah Sevila sedang menyindirnya dengan mengatakan jika Septian kadang seperti yang tertarik dan kadang tidak. Mungkin seperti kejadian saat dia tidak membalas DM selamat ulangtahun waktu itu, tapi saat meminta nomor WhatsAppnya, Septian seperti yang tertarik.
"Apa emang buat gue? Bukannya dia sendiri yang nggak tertarik. Dari awal aja udah kepencet. Pret!" Septian berdecak sebal. Kenapa dia jadi moody begini sih!
"Bisa aja buat cowok lain. Bisa aja dia udah ada cowok lain selain gue, kan?"
Lah, memangnya Septian sudah merasa dijadikan koleksi oleh Sevila?
***
Septian bersenandung kecil dengan telinga yang tersumpal earphone. Di kelasnya yang sedang jam kosong itu, Septian tak punya pilihan lain selain mendengarkan musik. Kadang, ketika hatinya gundah, hanya musik yang bisa meluruskan semuanya.
Tiba-tiba earphone di telinga sebelah kanan Septian tercabut. Septian yang tadinya memejamkan mata sontak membuka matanya. Dia melirik sang pelaku yang mencabut earphonenya. Lea.
"Apa?"
Wajah Lea begitu kusut. Bibirnya cemberut, pipinya menggembung. "Gue lagi pahat hati." Rengeknya.
Dulu, Lea terlihat seperti gadis yang polos dan imut, sampai akhirnya berubah jadi Lea yang garang dan suka marah-marah tapi paling perhatian di kelas. Akhirnya, satu persatu sisi Lea terbongkar. Dari Lea yang sebenarnya suka nangis di pojokan kamar hanya gara-gara perkara nilainya turun, insecure karena dia punya tahi lalat besar di jidat, tingkah konyolnya yang suka joget kalau dengar lagu dangdut, dan sisi manjanya Lea. Jangan lupa, Lea juga orangnya gampang baperan, kalau masalah cinta. Dikit-dikit curiga, dikit-dikit patah hati. Dengan kata lain, Lea ini bucin parah.
"Patah hati kenapa?" Tanya Septian. Sudah menjadi rahasia umum Lea dan Septian paling dekat bersahabat di kelas. Jadi sudah biasa saling terbuka soal cinta. Ya... Meski hanya dari sisi Lea saja.
"Dino. Dia kayaknya beneran udah nggak sayang lagi sama gue." Mata Lea sudah berkaca-kaca.
"Buktinya?"
"Semalam, kita lagi video call. Terus tiba-tiba aja mati dan pas gue telepon jalurnya sibuk. Pasti dia lagi teleponan sama cewek lain deh! Gue curiga, kayaknya dia punya cewek lagi."
Septian menyentil hidung Lea. "Nggak usah suudzon. Lo nanya nggak kebenarannya sama Dino?"
"Ya gimana gue mau nanya. Mana ada yang selingkuh ngaku!"
"Tuh, kan! Lo mah pikiran negatif mulu. Lo udah berapa lama sama dia? Dewasa dong. Orang selama ini Dino baik-baik aja sama lo."
"Ya makanya gue bilang tadi, dia kayaknya udah nggak sayang lagi sama gue."
"Udah deh. Lo mending nanya baik-baik sama dia. Ketemu, obrolin face to face, jangan video call mulu. Lo nilai aja, kalau Dino yang katanya lagi sibuk kuliah itu luangin waktu buat ketemu sama lo, berarti dia masih sayang. Dia juga pasti kangen lah."
"Iya, sih..." Lea menunduk, air matanya turun setetes. Namun segera dihapusnya, "gue besok ketemu sama dia. Tapi gue bener-bener kesel deh sama sikap dia yang kayak gitu. Soalnya dia sering banget nggak ngejelasin ke gue kalau misalnya di antara kita lagi ada hal apa gitu yang ngebuat gue marah."
"Udah?"
"Apa?"
"Curhatnya udah? Gue nggak bisa nanggapin apa-apa. Lo kan tahu, pengalaman aja kagak ada."
"Ya udah, gue cuma mau cerita doang kok. Thank ya udah didengerin."
Septian mengangguk. Lihat, sesepele itu Lea bilang patah hati. Padahal bisa saja kan Dino sedang ada urusan penting dengan kuliahnya. Mungkin saja Dino nggak cerita karena dia nggak tahu Lea marah. Lea sendiri yang tidak bertanya.
Jadi, perkaranya hanya satu. Kurangnya komunikasi.
Septian memasang kembali earphonenya.
Komunikasi? Dia seperti tak asing dengan kalimat barusan. Bukan, bukan berarti dia nggak tahu artinya. Tapi Septian merasa kata itu pas juga untuk mendeskripsikan kegundahannya saat ini.
Septian mencopot kedua earphonenya.
Ya, jawabannya hanya satu. Komunikasi. Kenapa Septian tidak kepikiran jauh. Semua masalah akan selesai jika dibicarakan baik-baik bukan? Kenapa dia harus menyimpulkan sesuatu dari sekali ucapan, kenapa nggak mencari tahu fakta dan alasannya.
Septian membuka aplikasi WhatsApp. Snap Sevila masih ada. Dia membacanya sekali lagi. Dari kata-kata itu sudah bisa disimpulkan, anggap saja Septian merasa jika Snap itu ditujukan untuk dirinya. Berarti, Sevila juga tertarik padanya. Tapi karena kesalahpahaman atau kurangnya komunikasi, mereka berdua jadi seperti terlihat saling menyalahkan.
Sevila mengira jika Septian menarik ulurkan perasaannya. Tapi bagi Septian, Sevila juga sudah mempermainkan dirinya. Karena kepencet, Septian jadi baper. Padahal siapa peduli dengan yang sudah lalu? Dia kan hidup di masa hari ini dan besok-besok setelahnya.
Seharusnya Septian sudah bisa menilai sendiri. Dengan adanya ucapan selamat ulangtahun dari Sevila saja, pastinya gadis itu memang tertarik. Jaman sekarang masih banyak cewek gengsian.
Mungkin saja kan Sevila bilang kepencet karena memang niat awalnya hanya ngepoin Septian tapi dia sudah tertarik? Siapa tahu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of September [end]
Teen FictionSeptian lahir pada awal bulan September, begitupun dengan Sevila. Keduanya memiliki nama yang hampir sama. Septian dan Sevila sama-sama bodoh dalam dunia per-bucinan. Keduanya bertemu tanpa sengaja, menjalin ikatan batin dan mengulas hari dengan pen...