21.

15 5 0
                                    

Sevila benar-benar membuat adegan ngambek di hidupnya pada Septian. Sevila sungguh tidak mengangkat telepon Septian, tidak juga membalas pesannya. Sevila merasa begitu bodoh, mau saja dia dikadalin selama ini.

Septian bilang dia tidak pernah tertarik dengan perempuan lain selain dirinya di SMA? Bullshit. Kalau tidak tertarik, mana mungkin dia jalan dengan teman sekelasnya itu. Hanya berdua saja.

Sudah pasti Septian tertarik. Atau mungkin sebenarnya mereka memang memiliki hubungan, tapi mungkin dirahasiakan. Karena Naira juga bilang jika Septian belum pernah pacaran dengan siapa pun di SMA.

Benar. Pasti Septian backstreet sama perempuan itu. Makanya tidak ada satu pun yang tahu.

Logikanya, mana mungkin tidak tertarik tapi mau jalan berdua. Bahkan ini bukan pertama kalinya Sevila melihat mereka bermesraan. Waktu itu di koridor sekolah, kemudian saat joging? Mana mungkin semuanya hanya kebetulan.

Cih. Sevila sangat benci keadaan ini. Dia mulai mengerti, kenapa Papanya melarang untuk pacaran di usia semuda ini? Semuanya hanya sia-sia.

Untung saja Sevila belum jadian dengan Septian, jadi kadar patah hatinya masih sangat minim dan masih bisa ditolerir. Coba kalau sudah pacaran, benar-benar akan mengganggu pendidikannya.

Bodo amat saja. Sevila akan mendiamkan Septian sampai waktu yang tidak ditentukan. Kalau perlu, Sevila juga akan membatalkan janji nonton bersama di malam Minggu nanti.

***

Septian mengesah gelisah. Dia mengirim beberapa pesan pada Sevila karena cewek itu tak kunjung mengangkat teleponnya tapi status WhatsAppnya online. Ada apa dengan Sevila? Apa cewek itu sedang merajuk? Tapi, kenapa?

Septian dibuat bingung dengan sikap Sevila. Perasaan tadi mereka baik-baik saja.

Septian duduk di kursi belajarnya. Mengacak rambutnya frustasi. Kenapa serumit ini berhubungan dengan perempuan.

Septian dibuat menganga ketika melihat Sevila membuat Snap WhatsApp baru saja.

Tas mahal bahannya kulit, harganya tak main-main
Bagaimana hati tak sakit, melihatnya dengan yang lain

"Hah? Maksudnya?" Septian melongo sendiri. Terakhir kali melihat Snap WA Sevila tentang sindiran pada dirinya. Apa ini juga? Pasalnya, dari tadi Sevila tidak membalas pesan dan mengangkat teleponnya, tapi dia bisa membuat Snap WA?

Benarkah Sevila sedang marah padanya?

Kenapa?"

"Bagaimana hati tak sakit, melihatnya dengan yang lain." Ulang Septian.

"Jadi, Sevila lagi sakit hati?"

"Sakit hati kenapa? Melihatnya dengan yang lain katanya. Apa gue?" Septian menunjuk dirinya sendiri. "Tapi gue sama siapa?"

Septian benar-benar merasa terkuras tenaganya.

Dilemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Septian mengerang panjang. Bisa-bisanya dia ada masalah padahal sebentar lagi dia mau mengajak Sevila nonton bareng.

Ada-ada saja drama percintaan remaja.

***

Tak terasa, Sevila sampai menitikkan air matanya. Sudah belasan orang yang melihat Snap WAnya malam itu, termasuk juga Septian. Tapi anehnya, Septian tak mengirim pesan lagi padanya setelah melihat Snap miliknya itu.

Apakah Septian peka? Apakah dia sadar jika kata-kata itu ditunjukkan untuknya? Tapi kenapa tidak ada usaha? Apa Septian balik marah padanya?

Arrgghh. Masa bodo. Sevila benar-benar akan mengacuhkan Septian. Biar saja cowok itu.

Satu sentuhan terakhir darinya adalah, Sevila membuka semua pesan masuk dari Septian, tapi satu pun tidak ada yang dibacanya. Setelahnya, Sevila mematikan ponsel. Nanti, Septian akan melihat bagaimana rasanya diacuhkan meski pesan-pesannya sudah dibaca.

Sama seperti saat itu, saat ucapan selamat dari Sevila di DM yang hanya dibaca tanpa direspons.

Memangnya enak?

****

Septian terbangun dengan badan yang sakit-sakit. Semalam, dia benar-benar frustasi ketika menyadari pesannya sudah dibaca semua oleh Sevila tapi tidak ada satu pun yang dibalas. Melampiaskan kekesalannya, Septian bermain kick boxing. Padahal dia sudah lama tidak menghajar samsak gantung di dalam kamarnya itu.

Alhasil, dia terbangun dengan badan remuk karena tidak sempat peregangan.

Selesai mandi dan bersiap-siap, Septian menuju ke ruang makan. Sudah ada Mama, Papa dan juga Kakak perempuannya yang bersiap untuk kuliah pagi.

"Kusut banget tuh muka, kayak baju nggak disetrika sebulan!" Sindir Febriana.

Septian tidak meresponsnya. Dia duduk di kursi makan, kemudian menerima piring yang sudah diisi nasi goreng oleh Mamanya.

Septian makan tak semangat. Tapi sebisa mungkin dia harus bersikap normal di hadapan orang tuanya. Dia tidak mau sampai mereka berpikir macam-macam.

Terakhir, saat Febriana putus cinta, orang tuanya bukannya menyemangati malah menghukum Febriana. Febriana sampai tak dikasih uang jajan hampir seminggu. Katanya, "makanya jangan menerima cowok yang salah".

Septian takut, dia juga akan diperlakukan seperti itu oleh mereka. Kata-kata pedas mulai bermunculan di kepala Septian.

"Makanya jangan mau sama cewek yang salah!"

"Makanya jangan suka sama cewek yang nggak suka sama kamu!"

"Makanya jangan mau pacaran dulu!"

"Makanya nyari pacar yang pasti-pasti aja!"

"Makanya cari pacar jangan yang ambekan!"

"Makannya agak cepet dong, Dek. Udah mau kesiangan ini." Tegur Andini.

Septian tersadar. Sedari tadi pikirannya terdistraksi dengan pikiran-pikiran negatif. Giliran makan cepat, dia malah tersedak.

"Pelan-pelan aja. Makan kok kayak orang kerasukan!" Tegur Galih—papanya.

"Iya, Pah." Cicit Septian.

Selesai makan, Septian buru-buru pamitan dan langsung menuju motornya di garasi. Febriana masih ada di teras rumah, menatap Septian dengan mata memicing.

"Gue curiga, lo lagi main cewek ya?" Tuduhnya.

Septian sedikit terkejut mendengar tuduhannya. Tapi satu-satunya cara agar tak terintimidasi adalah, kabur. Septian melajukan motornya cepat, sampai terdengar suara klakson mobil dari tetangga sebelah yang tengah mengeluarkan mobilnya dari gerbang rumah.

***

Story of September [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang