Kubuka mataku dan terkejut. Wajah Mahen begitu dekat hingga membuat hidung kami saling bersentuhan. Ia melepas genggaman lalu menangkup kedua pipiku.
"Jika aku mengatakan aku mencintaimu, bullshitkah?"
Kubalas tatapan lelaki itu lalu menggeleng pela...
"Saking inginnya aku menggenggammu, aku sampai lupa. Bahwa hubungan kita sebatas "bukan siapa-siapa."
█║▌│ █║▌│█│║▌║
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gadis cantik itu pun menemukan liontin abadi-"
Aku mendongak ke atas, terkejut karena hampir saja hidung kami bersentuhan. Dengan segera kubereskan kertas yang berantakan di pangkuan dan meletakkannya ke dalam tas.
"Hey, aku belum selesai membaca-!!" protesnya sambil mengejarku yang kini berjalan menjauh.
"Pergilah Mahen!!" ujarku seketus mungkin. Berharap ia menjauh dan mencari teman baru yang tak 'semenyedihkan' diriku.
"Tidak mau-!!" langkahku terhenti. Mahen merentangkan tangan sambil mengembungkan pipi.
Hey, a-apa ... Apaan ekpresi itu. Mengapa jadi begitu menggemaskan?
"Kau penulis? Tulisanmu tadi seperti cakar ayam. Tapi ceritanya keren! Aku suka. Sebelum dibukukan aku ingin membacanya!!" seru lelaki itu dengan mata berbinar.
Ku tolehkan kepalaku ke kanan dan kiri, lalu menatap datar ke arahnya. "Mahen--"
"Aku ingin membacanya!" teriak lelaki itu membuatku membulatkan mata. Ia mengernyitkan dahi sambil mempertahankan ekspresi menggemaskannya.
"Tidak, Mahen. Dan menjauhlah dariku." entah kenapa, ekspresi lelaki itu berubah muram. Ia menurunkan tangan yang sedari tadi direntangkan.
Ku pejamkan mata. Ada sesak yang tak bisa kujabarkan ketika wajah antusiasnya memudar. Tapi, ini pilihanku. Jika lelaki itu terus bersamaku, maka ia akan menjadi target baru bagi mereka yang suka membullyku.
Mahen, aku tak ingin kau di benci sepertiku. Rasanya sama sekali tak enak.
Hening untuk beberapa saat. Tersadar dari lamunan, aku beranjak meninggalkan Mahen yang masih Setia dengan posisinya. Baru belasan langkah menuju kelas, seseorang menarikku paksa.
"Duit mana-?!" pintanya sambil membenturkan badanku ke dinding. Nyeri sekaligus perih di area punggung itu terasa kembali, kupejamkan mata sebisa mungkin menahan rasa sakit.
Tanganku bergerak pelan sambil merogoh beberapa lembar uang puluhan dalam saku.
"Anjir, lambat banget jadi babu," ujarnya sambil merampas seluruh uang yang ada di tanganku.
Aku terdiam menatap salah satu dari ketiga orang menghitung uangku dengan cepat, kemudian ia mengernyit. Aku pun menghela napas. "Maaf, Papa menyita uang sakuku separuh."
"Bohong," sahut lelaki di samping gadis yang sedang memegang uangku.
"Hei, aku berkata jujur!" teriakku tak terima. Aku benci kebohongan, dan mereka seenak jidat menuduhku sembarangan.