Change

167 82 242
                                    

"Mati rasa itu sebenarnya ga pernah ada. Kamu hanya kehilangan rasa terhadap puluhan cahaya yang datang karena minatmu terletak pada kegelapan."

▌│█║▌║ ▌ ║▌║▌║█│▌

▌│█║▌║ ▌ ║▌║▌║█│▌

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

















"Alya kamu udah sembuh kan? Senin depan udah ujian, aku punya beberapa rangkuman materi buat kamu pelajari. Nanti aku bakalan jelasin pelan-pelan, ya? biar kamu paham. Soalnya materinya rumit banget."

Aku terus berjalan menuju kelas sambil mendengarkan ocehannya. Menggemaskan, hingga membuatku benar-benar tak bisa menahan tawa. Melihat tanggapanku, Mahen memberenggut kemudian merentangkan tangan. Aku pun menghentikan langkah.

"Alya. Kangen," ujarnya dengan bibir tertekuk. Sial, ekspresi menggemaskan itu lagi.

"B-a-y-i," ejaku sambil memeletkan lidah. Ia mengerucutkan bibir lalu tanpa aba-aba menarikku ke dalam dekapan.

Beruntung, koridor sekolah masih sepi hingga tak mengundang perhatian banyak siswa. Kubalas pelukannya sambil menepuk-nepuk pundak lelaki itu. Aroma vanilla kembali menggelitik Indra penciuman. Tanpa sadar kutenggelamkan wajah di dada bidangnya, menghirup aroma tubuh lelaki itu hingga paru-paruku sesak.

Mahen melakukan hal yang sama. Bedanya ia menenggelamkan wajah ke ceruk leherku. Kami berpelukan selama lebih dari semenit. Jujur, aku juga merindukannya. Dua hari dalam gudang membuatku serasa ingin bunuh diri saja, namun lelaki ini menjadi alasanku bertahan. Aku kuat karenanya.

Ia melepas pelukan sambil menatapku lekat, jarak kami lumayan dekat hingga napas Mahen begitu manja menerpa wajahku. "Banyak perubahan dari Alya. Makin kurus dan rambutmu memendek."

Aku tersenyum tipis melepas kedua tangan Mahen yang masih asyik melingkari pinggangku. Khawatir jika ada yang melihat kejadian ini, beberapa diantaranya pasti akan kembali bergosip dan mencaci-maki.

"Aku terluka selama tak ada kamu, Mahen."

Kupejamkan mata, kejadian beberapa hari lalu kembali terputar dengan jelas. Sesekali aku meringis mengingat pukulan papa karena keputusanku yang masih bersikeras menjadi penulis.

"Aku pengen banget pergi dari sini dan bawa kamu. Kita bahagia di tempat baru dan cerita baru. Menikah, dan memiliki bayi-bayi imut nan menggemaskan seperti ibunya," ujar Mahen dengan mata berbinar. Meski sedetik lalu wajahnya begitu muram mendengar ucapanku.

Aku tergelak, namun kuanggukan kepala dengan mantap. Mahen pun mengacak rambut lalu mengecup keningku sekilas. Mengabaikan wajahku yang bersemu, ia kemudian menunduk dan berbisik,

"i love u."

Setelahnya, Lelaki itu berlari meninggalkanku yang kini telah membeku dengan detak jantung berpacu cepat.

November (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang