All about u

154 88 420
                                    

"Ucapan orang, Aku benar-benar tak peduli. Yang aku tau, kau adalah wujud rindu yang benar-benar kunikmati."

▌│█║▌║ ▌ ║▌║▌║█│▌

▌│█║▌║ ▌ ║▌║▌║█│▌

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











8 tahun yang lalu

Seorang Lelaki bercelana merah melangkah cepat menuju rumah dengan sumringah. Senyuman bangganya tercetak jelas ketika ia menatap sekali lagi lembar yang berada digenggaman.

"Mama aku berhasil dapet nilai 89," ujar Mahen kecil dengan selembar kertas yang ia lambaikan.

Wanita paruh baya yang sedang membenarkan dasi Putra, abang Mahen yang terpaut 2 tahun darinya menanggapi dengan anggukan kepala. Mahen tersadar telah diacuhkan. Lelaki itu pun memudarkan senyum.

Langkah yang akan berjalan ke kamar terhenti melihat kertas ulangan dengan nilai 100 tergeletak di atas meja. Lelaki itu meraih cepat, menganga dengan nilai sempurna yang abangnya peroleh. "J-jadi yang tertinggi di ujian kali ini itu abang?" tanyanya tak percaya.

Putra tersenyum saat rambutnya dielus oleh sang Mama. Mahen yang melihat, menggigit bibir menahan tangis. "Makanya kamu belajar yang rajin dong biar kayak abang kamu Mahen," ucap wanita itu kemudian menepuk pundak Putra. "Jagoan Mama emang hebat banget! Mama bangga."

Mendengar pujian Wanita itu pada abangnya membuat hati Mahen teriris. Ia meremas kertas ulangan miliknya lalu bergegas menuju kamar. Lelaki itu menutup kuat pintu kamar dan mendudukkan dirinya di atas lantai dengan posisi lutut yang ia peluk.

Tidak. Lelaki itu tidak sedang menangis. Ia hanya meredakan amarah dengan menutupi wajahnya. Begitu setiap hari ia lakukan karena Mahen kecil tidak bisa melukai dirinya sendiri. Bahkan segala benda tajam di rumahnya ia hindari. Bukan takut terluka, tapi ia tak mau di rawat di rumah sakit akibat lukanya. Bagi Mahen tempat itu terlalu menyesakkan untuk ditinggali, meski sementara.

Lelaki itu mengatur deru napas yang tak beraturan. Entah mengapa dadanya begitu sakit melihat perlakuan kedua orang tuanya pada Mahen jauh berbeda dengan Putra. Tak pernah mendapat pujian, dikekang, terus menerus dipaksa agar menyesuaikan diri hingga berhasil melampaui kehebatan saudaranya.

Sayang, Mahen tak mampu. Kakaknya terlalu pintar, lelaki itu bahkan telah menguasai 3 bahasa asing dalam usianya yang terlampau muda. Mahen telah berusaha sebisanya, namun tak pernah berhasil. Sekeras apapun ia berjuang, hasilnya tetap nihil. Meski begitu, terdapat satu hal yang Mahen terus banggakan pada dirinya sendiri.

Ia tidak buta seni. Lelaki itu pintar menggambar, belajar alat musik dengan cepat dan mengarang lagu hanya dengan sekali duduk sambil melamun. Sayang, kedua orangtuanya tak peduli dengan hal itu. Bagi mereka bisnis dan segala tetek bengeknya jauh lebih penting. keberadaan Putra bersama otak jeniusnya benar-benar cukup memuaskan ekspektasi. Mahen di mata orangtuanya seperti tak penting, entah berkali-kali ia berpikir, mengapa ia harus terlahir.

November (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang