"Di masa mendatang.
Kau, Aku dan hujan akan bersatu."▌│█║▌║▌║ █ ║▌║▌║█│▌
Jantungku berdegup kencang saat kapas beserta perban itu perlahan terbuka. Begitu juga aura di sekitarku. Putra, Tante Indah, Nenek, dan om Darma terlihat begitu cemas. Khawatir operasi gagal dan mata yang di donorkan tak berfungsi dengan baik.
Kubuka mata perlahan. Dokter di hadapanku memberi jalan agar netraku mulai terbiasa dengan cahaya sekitar. Entah mengapa air mataku mengalir begitu saja. Ketakutan beberapa hari lalu tentang aku yang tak dapat melihat kini berganti dengan kelegaan tanpa reda.
Aku tersenyum dan menatap wajah khawatir di hadapanku satu persatu. "Aku bisa melihat." dan seketika ruangan dipenuhi dengan helaan napas panjang.
Tante Indah menghampiri dan memelukku, ia tersenyum cantik ke arahku. "Sudah siap, Alya?" Aku mengangguk. Sedikit meringis. Sebab hari ini adalah hari di mana papaku akan diberi hukuman setimpal atas perbuatan keji yang ia lakukan.
Butuh sekitar 2 jam agar kami tiba dan duduk dengan rapi di tempat ini. Acara telah bermula 30 menit yang lalu, namun gemuruh di dadaku tak kunjung mereda. Sambil menetralkan degup jantung, kugenggam tangan Tante Indah dengan erat. Entah mengapa, aku merasa begitu takut bersitatap dengan pria bajingan itu. Salahkah jika aku mengumpatnya?
Tidak.
Aku tidak semalaikat itu untuk merasa iba pada lelaki yang telah dua kali merebut kebahagiaanku. Andai boleh, sudah kubalas kematian Mama dan Mahen dengan tanganku yang menikam jantungnya. Mencincang tubuh tak berdaya itu dan membuangnya ke tong sampah.
"Sidang telah ditentukan. Berdasarkan beberapa tindakan tercela dari saudara Bramantyo. Maka berlaku hukuman penjara seumur hidup."
Ruangan yang terasa sesak sejak acara persidangan mendadak memberikan efek kelegaan. Kurapalkan ucapan syukur berkali-kali dalam hati karena acara hari ini berjalan lancar, tak lupa rasa terima kasih teruntuk Papa Mahen yang begitu cepat dan sigap mengurus perkara ini.
Aku bebas dari rasa takut.
Aku bebas sekarang, Mahen.
🌧️
Kugenggam erat bunga berwarna putih sambil terus melangkah, melewati barisan barisan nisan dengan nama asing yang terukir di sana. Air mataku tak dapat terbendung lagi saat gundukan tanah yang terlihat baru dengan berbagai bunga menghiasi di atasnya, tertangkap oleh Indra penglihatan.
Tanganku bergetar menyentuh ukiran nama yang tergores rapi di batu nisan. Tanpa sadar aku menjatuhkan tubuh, mulai menangis histeris. Mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhku. Putra yang turut serta menemani menuju pemakaman, mulai meraih pundakku dan mengusap pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
November (COMPLETED)
Teen FictionKubuka mataku dan terkejut. Wajah Mahen begitu dekat hingga membuat hidung kami saling bersentuhan. Ia melepas genggaman lalu menangkup kedua pipiku. "Jika aku mengatakan aku mencintaimu, bullshitkah?" Kubalas tatapan lelaki itu lalu menggeleng pela...