Be happy

145 76 240
                                    

"Kekuranganmu di mataku adalah kesempurnaan. Jadi jangan khawatir, aku tak akan pernah berpaling. Bahkan hilang."

▌│█║▌║▌║█ ║▌║▌║█│▌

▌│█║▌║▌║█ ║▌║▌║█│▌

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












"Dari mana saja kamu, Alya?" tanya Papa saat aku melewati ruang tamu dengan santai.

"Kencan," jawabku acuh sambil berjalan menaiki tangga.

"Sama siapa?" tanyanya sekali lagi.

Mendengarnya aku berdecih, memilih mengabaikan dan masuk ke dalam kamar. Netraku membulat melihat kamar rapiku berubah seperti kapal pecah. Dengan segera kuhampiri meja belajar, mencari sesuatu di sana. Dan kecurigaanku benar. Kertas berisikan cerpen dan puisiku hilang.

Aku membanting pintu kamar dan turun menghampiri Pria yang kini berkutat dengan laptop di pangkuannya. "Papa ngebakar cerita Alya lagi?!" tanyaku frustasi.

Habis sudah kesempatanku untuk memenangkan lomba. Aku yang terbiasa menulis sejak kecil dan mengirim karya tulisku ke berbagai lomba di social media maupun sekolah, kini hanya bisa berteriak dan menangis. Ketik ulang pun percuma. Tak akan sama persis dengan yang kutulis sebelumnya. Percayalah, berkat hobi menulisku, aku berhasil memiliki tabungan setara dengan biaya yang kubutuhkan saat masuk dunia perkuliahan.

Dan Pria di hadapanku tentu tak akan pernah tau.

"Sudah Papa bilang, apa yang kamu usahakan akan sia-sia, Alya. Dan menjauhlah dari Mahen, atau kamu akan mendapatkan hukuman dari keras kepalamu itu."

Mendengarnya, aku membelalakan mata. Mengernyit heran dan tanpa sadar tanganku terkepal kuat. "T-tau dari mana soal Mahen?" tanyaku panik. Pasalnya aku tak pernah menceritakan keberadaan Mahen pada Pria ini.

Ia meraih kopi lalu meneguknya sebentar, mulai menatapku tajam. "Aldo datang tadi dan menceritakan semuanya."

Sial. Benar-benar sial.

"Jauhi Mahen atau tidak hanya kau yang akan terluka, lelaki miskin itu juga," ancamnya dengan nada penuh penekanan.


🌧️

Sungguh, aku sudah berkali-kali berusaha fokus mendengarkan materi yang disampaikan. Namun tak sedikitpun masuk ke dalam otakku. Pikiranku terus melesat ke memori di detik Papa menyuruhku menjauhi Mahen.

Kutatap lelaki di sampingku yang begitu fokus dengan penyampaian guru di hadapan. Pelajaran biologi adalah salah satu dari sekian materi favoritnya. Aku tersenyum tipis mengingat rangking yang kami peroleh selalu saja beradu nilai. Tidak, kami tidak pernah mendapat rangking pertama. Mahen dan aku terus menetap di posisi 4 dan 5. Yah ... lumayan, kan? Setidaknya aku telah mengalahkan sekitar lebih 40 siswa di kelas ini.

November (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang