"Gini ya, ga ada kata 'beneran Cinta' kalo salah satunya berjuang mempertahankan tapi yang lain belajar mengikhlaskan."
-Mahen▌│█║▌║▌║█ ║▌║▌║█│▌
Mampus.Aku melihat Papa menatap nyalang ke arahku. Kuteguk saliva, melangkah pelan memasuki pekarangan rumah.
"Alya. Sini kamu!" ujarnya berjalan cepat dan menarikku paksa masuk ke dalam rumah. Ia melempar tubuhku hingga terjerembab ke lantai. Kugigit bibir, perlahan bergetar ketakutan.
"Sudah berapa kali Papa bilang, jauhi Mahen. Masih saja kamu nekat, hah?!" Dengan emosi meluap, Pria itu meraih cambuk di balik pintu. Cambuk yang sering digunakan ketika aku berkali-kali tak menuruti kemauannya.
Papa menyeretku dengan menjambak kuat rambut. Aku menjerit kesakitan sambil memukul berkali-kali tangan kekarnya. Namun nahas, tenagaku tak cukup kuat. Ia menghempas cambuk tepat di punggungku. Berkali-kali dengan cepat. Suara cambukan terdengar nyaring dalam kamar mandi yang kutempati.
Perih sekaligus panas kini merambat di seluruh tubuh. Aku hanya bisa menangis dan menjerit kesakitan, membiarkan air mataku mengalir deras bersamaan dengan darah yang merembes pada baju seragamku. Kini aku memilih pasrah. Seakan membiarkan Papa menghabisi nyawaku saat ini juga.
Tubuhku semakin gemetar hebat dengan hempasan cambuk itu, tangan yang senantiasa menopang kini melemah hingga menelungkup ke lantai. Papa menarik paksa rambutku hingga mendongak. Ia membasahi tubuhku dengan Air hingga area punggung terasa lebih perih 2 kali lipat. Tak berhenti di situ, kini ia menyeretku ke dalam gudang. Mengunciku dari luar.
"Papa kurung kamu 3 hari tanpa makan!" tegasnya sambil menendang pintu dengan keras.
Aku terduduk lemah. Kupeluk tubuhku yang mendadak kedinginan. Meresapi perih, aku terisak pelan. Sekilas, Kutatap ventilasi kecil tertutup kayu di pojok ruangan ini. Hari sudah hampir malam dan gudang ini benar-benar gelap total. Merasa sakit sekujur tubuh, aku kesulitan menghentikan isak tangis. Ingin sekali kuhabisi nyawaku namun seketika Nama Mahen terbesit dalam otak, Membangkitkan energi hingga aku sanggup berdiri menghampiri ventilasi itu.
Entahlah, kurasa ide gilaku muncul.
Jika dulu aku tak dapat melewatinya karena tubuhku gendut, akan kupastikan aku mampu melewatinya sekarang. Aku tak tau tindakan apa yang aku pikirkan yang aku tau, aku benar-benar ingin keluar dari tempat ini. Tak peduli bagaimana kedepannya nanti. Tak peduli bagaimana aku akan membiayai diri sendiri dan melanjutkan sekolah.
Kukerahkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk membuka ventilasi itu. Hanya terdapat tiga papan kayu, seharusnya ini mudah. Kuperhatikan paku-paku yang tak tertancap dengan benar. Kugoyangkan dengan gigi dan jariku agar paku itu terlepas, mengabaikan rasa amis dalam mulutku yang mulai berdarah di bagian gusinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
November (COMPLETED)
Teen FictionKubuka mataku dan terkejut. Wajah Mahen begitu dekat hingga membuat hidung kami saling bersentuhan. Ia melepas genggaman lalu menangkup kedua pipiku. "Jika aku mengatakan aku mencintaimu, bullshitkah?" Kubalas tatapan lelaki itu lalu menggeleng pela...