Again

167 80 193
                                    

"Andai saja ... Andai melupakan semudah saat kau mengucapkan. Mungkin sekarang aku telah berhasil bahagia dalam kutipan 'yang sesungguhnya'."

║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║

║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










"Eumm ... Aldo? Kenapa kita sampai di gerbang sekolah?" tanyaku heran.

Lelaki itu tak menanggapi. Memilih keluar dari mobil lalu membukakan pintu untukku. Melihat sikapnya, aku terkejut bukan main. Dengan perlahan kulangkahkan kaki keluar dari dalam mobil.

Aneh.

Beberapa orang yang berjalan menuju sekolah mulai memperhatikan kami. Aku berdiri kikuk merasa risih tatapan serta kamera ponsel yang menjadikan aku dan Aldo pusat perhatian. Kemudian, aku membeku di tempat saat Aldo dengan terang-terangan mengecup keningku.

Mataku terbelalak tak percaya. Aldo tersenyum saat menyudahi kecupan. Entah mengapa senyumannya terasa begitu misterius di mataku. Aku menuruti langkah Aldo yang berjalan melewati gerbang sekolah, membiarkannya menggenggam tanganku. Terdengar jelas sorakan dan riuh dari beberapa siswa, seakan tak terima dengan kejadian yang baru saja mereka lihat secara nyata.

Tidak. Ini bukan Aldo.

Wajahku pias saat melihat Erika bersama antek-anteknya seakan ingin mencincang tubuhku. Memejamkan mata membayangkan, meramal apa yang akan terjadi nanti.

"Terima kasih," ujarku sambil menunduk, entah mengapa perlakuan lembut Aldo membuat wajahku bersemu merah. Kelas kami berbeda, dan herannya Aldo mengantarku hingga ke depan pintu kelas.

Satu hal lagi yang membuatku benar-benar terkejut adalah gerakan tangannya yang mengusap pucuk kepalaku lembut. Kutolehkan badanku ke belakang, khawatir Mahen akan melihat kejadian ini dan salah paham. Namun, bangku belakang tempatku duduk masih kosong. Itu artinya ia belum datang ke sekolah.

Ah, sial.
Aku merasa seperti sedang berselingkuh.

Kutatap langkah Aldo menjauh dengan kedua tangan terselip di saku celana. Memilih mengabaikan debar aneh yang melanda, aku bergegas melangkahkan kaki memasuki kelas. Bisa kurasakan aura di sekitarku benar-benar mencekam, namun kuabaikan dengan memfokuskan diri pada buku tulis dan imajinasiku yang menerawang jauh entah ke mana.

Lima belas menit akhirnya bel masuk berbunyi. Aku menghela napas lega saat guru matematika masuk ke kelas. Memudarkan aura mencekam di sekitar dan mengalihkan tatapan sinis dari beberapa siswa yang sedari tadi mengawasi dalam diam. Kutatap bangku kosong di sampingku. Mahen tak pernah terlambat, sudah kupastikan ia tak masuk sekolah hari ini.

November (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang