"Mengenalmu adalah kebahagiaan. Di genggam olehmu adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan. Tak akan pernah kulupa detail kisah kita. Bahkan pada kenangan terkecilnya."
-Alya▌│█║▌║▌║█ ║▌║▌║█│▌
3 Minggu kemudian ...
Mobil bergerak perlahan menuju gerbang. Aku mengangkat alis lalu memutar bola mata, merasa jengah. Kubuka sabuk pengaman dan melangkah keluar dari dalam mobil. Aldo yang hendak mengejar, terhenti saat Mahen berlari antusias dan memelukku erat.
"Alya!" teriak Aldo tak terima.
Aku menoleh, tersenyum miring lalu mengeratkan pelukanku pada Mahen. Seakan mengibarkan bendera perang di hadapan Aldo yang telah kalah telak.
Kami berdua bergegas melangkah masuk melewati gerbang, mengabaikan tatapan tajam Aldo, pun dengan sebagian siswa yang sedang memerhatikan. Berjalan menyusuri koridor dengan gelak tawa yang tak kunjung memudar dari kedua bibir kami, sepakat untuk menertawakan ekspresi kesal Aldo pagi ini.
Entah mengapa, aku merasa bahwa aku telah menentukan pilihan tepat.
Bersama Mahen dan terus menerus melawan keegoisan Aldo adalah cara baru yang tak kuduga semenyenangkan ini. Mahen menguatkanku. Ia membuatku percaya bahwa selamanya, lelaki itu akan baik-baik saja. Kemarin, Mahen menceritakan kisah kami sejak awal bertemu dan berbagai masalah yang aku derita. Putra dan Mama Mahen dengan senang hati mendengarkan cerita, dan tak sabar ingin bertemu kami saat liburan semester tiba.
Mereka bilang akan membantu jika aku dan Mahen terlibat masalah seperti yang sudah-sudah. Kini, Mahen tak perlu susah payah lagi bekerja. Mamanya memaksa lelaki itu untuk menerima uang bulanan dengan 'restu' sebagai ancaman jika berani menolak. Aku tergelak mengingat, bagaimana Mahen berteriak dan menggerutu kesal dengan keputusan sang mama.
Langkah kami terhenti di samping pintu kelas.
Aku berbalik menghadapnya, kemudian tersenyum hangat. Untuk beberapa saat, kami saling menatap lekat dengan tautan jemari yang sedari tadi saling menggenggam erat. Seperti biasa, jantungku berdetak lebih cepat. Perasaan menggebu yang selalu membuatku candu. Entah sudah berapa kali perutku seakan bertebaran kupu-kupu, karenanya. Sosok Cinta pertamaku.
Lelaki bak pangeran, yang tak kusangka akan jatuh ke pelukanku. Lelaki penuh kesempurnaan, pecinta seni dan hujan.
Mahen, aku mencintaimu.
"Aku jauh lebih mencintaimu," balas Mahen menatapku dengan sorot netra penuh kelembutan.
Aku membelalak tak percaya ucapannya. "Bagaimana kau tahu jalan pikiranku?"
"Tanpa kau beritahupun, aku sudah bisa menebak isi kepalamu adalah aku," jawabnya dengan nada yang terdengar begitu sombong di telinga.
Aku mengerucutkan bibir. Memasang ekspresi berpura-pura tak menyetujui ucapan lelaki itu. "Jangan terlalu percaya diri. Ingat, sainganmu Jaemin," sahutku sambil tergelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
November (COMPLETED)
Teen FictionKubuka mataku dan terkejut. Wajah Mahen begitu dekat hingga membuat hidung kami saling bersentuhan. Ia melepas genggaman lalu menangkup kedua pipiku. "Jika aku mengatakan aku mencintaimu, bullshitkah?" Kubalas tatapan lelaki itu lalu menggeleng pela...