BAB 2: Pertemuan Singkat

264 26 1
                                    

"Kita bisa saja berkehendak. Namun, jangan sampai memaksakan kehendak. Kita tak punya kuasa."

-Merindu Kalam Surga-

Menghembuskan nafas kasar, aku menutup pintu yang menuju keluar rumah dari kamarku. Otomatis tanpa banyak basa basi dan perdramaan jantung dag dig dug ser aku langsung bisa kabur. Allah! Apa benar keputusanku kali ini? Aku hanya ingin merantau lantas mengejar cita citaku setinggi mungkin. Mengangkat derajat kedua orang tua. Tas berisi pakaian dan peralatan sudah ku tenteng rapi.

Entah bagaimana, air mataku tiba tiba saja menetes. Ada sebercik rasa tak rela. Meninggalkan bapak dan ibu dirumah. Apalagi keadaan Mbak Maya yang terlalu kekanak kanakan.

"Bismillah, apapun yang akan terjadi nantinya. Aku tidak akan melibatkan mereka. Cukup aku membuat mereka tersakiti atas kekaburanku hari ini."

Ya, benar saja. Ujianku dimulai. Mana ada ojek tengah malam seperti ini. Ingin mengambil sepeda, tapi nanti ditinggal dimana? Huft, agaknya aku harus jalan kaki. Dengan langkah tertatih tatih, aku menuju terminal. Mungkin akan membutuhkan waktu lama dan membuat kakiku sedikit lecet. Pikirku melayang bebas mengudara. Aku tidak tahu apa yang terjadi dikota orang. Diriku hanyalah orang asing yang tidak mengenal siapapun disana.

Tanpa terasa, kakiku telah menginjakkan didepan papan nama terminal. Menatap dalam kearahnya, aku berusaha menguatkan hati. Obsesiku terhadap pendidikan tinggi sangat menggebu gebu. Namun aku harus bisa sadar, aku tidak boleh kecewa jika aku tidak bisa mendapatkannya. Aku selalu menanamkan dalam hati, bahwa--

"Apapun yang menjadi takdirmu, pasti akan menemukan jalannya sendiri untuk menemukanmu." -Ali bin Abi Thalib.

Hemm, kurasa aku harus menunggu bus lebih lama. Lagi lagi apa ada bus yang beroperasi tengah malam? Mungkin ada, namun aku takut. Berjalan mendekati kursi panjang. Aku menaruh tas tas disamping. Juga berjaga jaga agar tidak kemalingan. Maling sekarang pintar pintar, kita harus senantiasa waspada.

"Bu, pak. Maafkan Haura. Aku meninggalkan kalian semua disini. Tolong jangan marah padaku."

Hening!

Hanya suara jangkrik yang menemaniku malam ini. Tak ada siapapun juga disini. Aku benar benar sendiri, dingin yang menusuk tulang berusaha aku abaikan. Mimpi yang besar ada perjuangan hebat didalamnya. Aku harus bisa sampai titik itu. Lama aku melamun, tiba tiba aku terlelap. Membiarkan semua anganku mengapung ditengah samudera yang tak berujung.

---

"Mbak bangun mbak."

"Eughh," aku menggeliat pelan seraya perlahan membuka mata. Terlonjak kaget menatap satu objek didepanku.

"Astagfirullahaladzim.. maaf pak. Saya mohon maaf!"

Aku hampir lupa kalau sedang di terminal. Bapak bapak tua itu mengangguk patuh mengarahkan tangannya menunjuk salah satu bus diantara rentetan bus lainnya. Ia memberitahuku sesaat ketika aku membeberkan arah tujuan. Setelah berterimakasih padanya, aku menghampiri bus berwarna dominasi biru muda itu. Kembali menghela nafas pelan. Aku menggenggam gagang besi depan pintu bus. Menoleh kebelakang memastikan sesuatu yang mengganjal dihati.

"Selamat datang. Arah tujuan mana ya mbak?" wanita berbaju kancing rapi itu menyodorkan kertas kearahku sesaat setelah aku mendudukkan diri. Tersenyum menganggapi.

"Emm, kota Bandung mbak."

"Baik. Ini tiketnya."

Aku menerimanya dengan senyum mengembang. Syukur dulu aku bekerja paruh baya sebelum memutuskan untuk merantau. Jadi, sedikit banyak aku ada tabungan. "Terimakasih mbak."

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang