BAB 15: Menjauh Darimu

126 10 0
                                    

"Untuk apa pulang, jika tempat pulang tidak menantikan kepulangan? Keberadaanmu mengantarkan keheningan, namun ada kalanya justru menjerumuskan kegentingan. Menjadikanmu satu satunya ruang bergantung membuatku terluka. Oleh sebab itu, aku lebih memilih mengharapkan-Nya. Cinta dari sang maha cinta. Karena dari nya aku tidak akan mendapatkan penentangan."

-Merindu Kalam Surga

Kalian tahu rasanya? Ketika segala hal yang tertutup rapat malah terbongkar sia sia? Aku sempat terkejut tadi melihat Mas Fazwan sudah gagah mengangkat telpon darinya. Mana sempat, aku mengelak. Bahkan berbicara sepatahpun rasanya tak sanggup.

Kami saling diam menikmati sepotong nugget yang sempat aku goreng. Entah apa dipikiran Mas Fazwan, tapi nampaknya menunjukkan kecewa. Cuaca terang benderang disertai usapan angin berhasil mendesir hatiku. Lantai yang kupijak terasa dingin, begitu pula tampang Mas Fazwan.

Ck!

Kenapa Mbak Maya harus telpon diwaktu yang tidak tepat sih? Decakan lirihku sampai terdengar digendang telinganya. "Huft, kamu anggap mas ini apa Haura?"

Kutolehkan kepala menghadap Mas Fazwan. Dia tengah sibuk menyesap kopi sisa. "Emm, suami," jawabku singkat.

"Kenapa kamu bersikap seperti ini?" nadanya sedikit menukik tajam. Tenang Haura! Aku tidak boleh terbawa emosi.

"Mas..."

Helaan nafas itu muncul, melengos menatap segerumbulan awan dari pintu kaca. "Bukannya mas sudah bilang dulu, kalau ada apa apa. Bilang! Jangan simpen sendiri."

"Tapi saya nggapapa mas," satu hal yang bisa ku tarik kesimpulan tentang Mas Fazwan. Suamiku itu tipe orang sewaktu marah nyerocos tanpa henti. Biasanya orang marah diam, ini malah berbanding terbalik.

"Mas udah berusaha jadi suami baik buat kamu. Tapi kamu malah menyepelekan mas!"

Kali ini emosiku terbawa. Siapa yang menyepelekan? Toh ini masalah pribadi. "Wallahi mas, saya tidak ada niatan begitu," aku menatapnya penuh ketegasan.

"Tapi kenapa kamu menyembunyikan ini semua?"

"Karena tidak ada hubungannya dengan mas!"

Mas Fazwan mengerang frustasi. Seketika meraih pundakku lantas menekannya penuh tenaga. "Masalahmu, masalah mas juga!!"

"Mas kenapa sih?" tanyaku menyela perkataan yang akan keluar darinya.

Ia menghempas bahuku, memakan rakus sepotong nugget yang tersisa. Tanpa banyak bicara ia berdiri. Membiarkanku menahan sakit bahuku tadi. Mas Fazwan berlalu meninggalkanku.

Belum juga lima langkah, Mas Fazwan berhenti. Tubuhku secara langsung lemas. Kalimat darinya membuatku merasa sedikit bersalah. Mas Fazwan sungguh marah. Kemeja putih dengan gulungan lengan mengenai siku serta celana hitam polosnya memberi kesan tegas.

"Mas kecewa sama kamu, Haura!" ujarnya lirih tapi masih terdengar olehku.

Aku tak memberikan akses jalan. Tanpa jeda, aku ikut membalasnya. "Mas mau kemana?"

"Menjauh darimu."

___

"Menjauh darimu."

Kalimat itu terus menggema, menyulitkanku untuk lupa. Bahkan beberapa hari ini Mas Fazwan enggan mengucap apapun. Pulang larut malam lantas tidur tanpa menoleh padaku. Lebih parahnya, kemarin Mas Fazwan tidak pulang. Apakah kesalahanku sangat fatal?

Memikirkannya hanya membuatku pusing. Di kampus, sempat bertemu dengan Mas Fazwan. Tapi dia bungkam dan melengos. Sepulangnya aku tidak langsung menuju rumah. Untuk apa pulang, jika tempat untuk pulang tidak mengharap kepulangan? Aku sudah menduga Mas Fazwan akan melakukan hal sama.

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang