BAB 9: Roti Manis

136 10 1
                                    

"Dimanakah jalan kepulangan? Aku kelakian melacaknya ditiap penjuru. Bergegas menggapai namun tak sampai. Bungkam tergeletak kaku menahan lekukan tulang rusuk. Hingga aku menjumpaimu. Jalan kepulanganku adalah kamu."

-FN (Merindu Kalam Surga)

Hah!

Selesai juga penderitaanku kali ini. Aku merenggangkan otot lantas menutup pintu ruangan Pak Fazwan. Soal soal itu cukup menyita waktuku. Hari ini aku harus memikirkan sesuatu yang bisa memberikanku wadah kehidupan disini. Aku tidak bisa terus terusan bergantung pada Pak Fazwan. Apalagi, aku sama sekali belum diberikan uang saku. Ingat itu!

"Hemm, apa yang bisa aku lakukan ya?"

Aku berhenti ditengah lapangan basket. Berusaha berpikir keras mendapatkan sesuatu itu. Kalau diingat ingat, aku pernah latihan membuat kue. Berkali kali pernah gagal. Tapi pada percobaan ke 17, aku berhasil.

"Apa coba jual roti aja?"

"Ah tidak tidak. Bagaimana kalau gagal lagi? Aku akan rugi modal. Lebih lagi kalau tidak laku."

Aish, percuma berpikir negatif. Sesegera mungkin aku berlari menuju keluar kampus. Hanya bermodal seratus ribu, aku nekat memulainya. Khem! Aku pasti bisa.

Sampai ditoko bahan, aku menatap sekeliling yang dipenuhi aroma roti. Rak berjajar pada masing masing porsi. Baiklah. Dengan seratus ribu yang kini aku genggam, aku harus bisa menguasai taktik adonan roti. Pertama yang harus aku ambil adalah tepung.

"Ada yang bisa saya bantu, mbak?"

Ah, untung saja ada pelayan peka. Aku tersenyum lebar memberikan contoh gambar roti dihadapannya. "Saya mau buat ini mbak. Bahan bahannya ada?"

"Oh, ada kok mbak. Ayo saya bantu cari."

Aku terus sibuk menggerutu menghitung totalan belanja sembari pelayan itu mengumpulkannya. Bukan apa apa, hanya saja aku tidak ingin seratus ribu tersayangku ini benar benar habis tak tersisa. Setidaknya, aku berharap tidak sampai seratus.

Saat dikasir, jantungku berdebar tak tau arah. Beginilah kebiasaanku ketika membeli sesuatu. Selalu merasa berdebar saat disini. Tidak tau kenapa, tapi menyodorkan uang itu terasa berat. Perempuan sampingnya satu persatu memasukkan barang belanjaanku ditas. Aku melirik ke papan kasir yang menunjukkan nominal.

99.500

Pupus sudah ekspetasiku! Aku meringis menggenggam uang ditanganku ini. Perlahan tapi pasti, aku mengarahkannya pada petugas kasir. Dengan sigap, dia menerimanya. Ya! Aku ikhlas.

Tidak ada jadwal apapun hari ini, dengan bersenandung gembira aku menuju rumah Pak Fazwan. Rumah itu juga rumahku. Disana, aku sudah merancang bagaimana langkahku. Menyiapkan bahan, membuat roti, mengemas secantik mungkin, menghubungi Liliana untuk mencobanya, lalu-

TADAAA!!!

BERHASILL

Membayangkan saja sudah membuatku terlampau senang. Bagaimana kalau benar benar terjadi ya? Ah, aku tidak sabar untuk membuka praktek roti. Tapi tunggu! Uangku sudah habis tak tersisa. Lalu aku membawa semua belanjaan ini. Intinya, aku tidak bisa memesan ojek dan pulang.

Sesegukan pelan, aku harus bisa menahan. Katakan ini adalah percobaan pertama. Pulang dengan jalan kaki dan menenteng barang belanjaan.

---

Berulang kali percobaan ini dilakukan, namun tak kunjung mendapat hasil yang maksimal. Aku sudah bersusah payang melakukan. Kata bibi, ada saja yang kurang pas. Aku belum menghubungi Liliana. Karena rencanaku mengemasnya dulu kemudian memanggilnya. Tadi bibi datang membawa wadah rantang kemarin. Dan aku langsung saja meminta tolong padanya untuk mencoba ini.

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang