BAB 8: Kesepakatan Kita

162 17 1
                                    

"Cinta itu fitrah. Maka, jangan jadikan fitnah."

-Merindu Kalam Surga-

"Akhirnya kamu sampe juga Ra."

Aku mendesah lega menatap sekeliling kantin yang mulai dipenuhi orang. Duduk disamping Liliana seraya mengatur nafas. Bagaimana tidak, tadi aku kekampus buru buru mencari ojek online. Tapi ternyata aplikasinya eror, cegat angkutan umum tidak ada satu pun yang lewat. Alhasil, aku lari terbirit birit karena waktu. Ini semua ulah Mas Fazwan karena semalam kabur entah kemana.

Dengan mendengus sebal aku melempar sindiran Liliana. "Ada sesuatu tadi dijalan."

Dihiasi keheningan, aku dan Liliana memesan minuman lantas menikmati dengan tenang. Ramai memang. Aku juga tidak terlalu suka dengan keramaian. Membuatku pusing, apalagi gelak tawa dari ujung kantin. Memandang lamat para perempuan disana. Aku beristigfar dalam hati. Pakaian pakaian yang mereka kenakan. Sungguh membuatku harus menutup mata.

Hingga mendadak kantin diriuh kan kembali oleh kedatangan seorang perempuan berjaz hitam dengan rok span selutut dan rambut curlynya. Aku hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Benarkan, mereka semua menatap perempuan penuh kagum. Entah kagum apa aku tak tau, yang aku tau hanya pentingnya menjaga malu bagi perempuan.

"Eh, Haura. Liat itu!"

Liliana memekik keras membuat telingaku sedikit ngilu. "Iya aku liat, aku tidak buta."

"Ish! Kamu tau siapa dia?"

"Tidak," jawabku tenang sembari mengambil tempe didepan.

"Dia dosen pengganti Bu Windi."

Teman gingsulku itu menatap wajahku lekat dan mencondongkan badan kedepan. Melirik ke arah perempuan tadi. Satu pertanyaanku saat ini, apa untungnya buat aku. "Lalu?"

"Aku cuma ngasih tau. Rumor rumornya sih Ra. Katanya dosen itu tuh, deket sama Pak Fazwan."

"Pak Fazwan?" beoku terheran heran. Kok bisa? Ada apa dengan mereka? Em, tidak heran sih. Wajah mereka mirip. Kata ibuku kalau mirip itu tandanya jodoh.

Eh!

Tapi kan, PAK FAZWAN SUAMIKUU!!!

Liliana mengangguk mantap. Meraih pergelangan tanganku erat. "Ck! Pak Fazwan yang dulu kamu maki maki. Ngga tau sih pastinya, tapi kalau diliat liat cocok juga ya Ra."

"COCOK MBAHMU!"

Setelahnya, seketika semua mahasiswa terdiam. Memandangku dengan tajam. Aku pun tersenyum malu. Mengucap kata maaf padanya. Oh Allah! Aku tidak tau bagaimana aku bisa berteriak tadi. Liliana didepan ku tertawa pelan. Menggerutuki kebodohanku. "Malu aku, malu."

"Haura. Saranku, lebih hati hati aja kalau mau berantem sama Pak Fazwan. Doi udah ada pawangnya," Liliana berdiri menepuk bahuku. Aku menghempaskan tangan mungilnya. Enak saja! Aku ini istrinya. Andai saja, semua orang tau kalau Pak Fazwan sudah menikah.

"Pergi sana. Hus hus!" Aku menatap malas Liliana dengan mengibaskan tangan menyuruhnya pergi.

Liliana berhenti. Ia menoleh kebelakang dengan melihat jam tangannya. "Emm, Haura!"

"APA!"

"Sepertinya kamu telat deh."

---

Hmm, seperti dugaan Liliana. Aku telat. Benar benar telat setengah jam. Aku menggerutuki kebodohanku sendiri. Bisa bisanya aku menuruti kemauan Liliana untuk bergosip ria dikantin. Dia sih enak, belum ada jam kuliah. Lah aku?

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang