"Abang mau berangkat sekarang?"
Anindira telah mempersiapkan segala kebutuhan sang suami, mulai dari buku besar, jurnal, dan semua alat tulis. Dengan membelai lembut perut yang semakin membesar. Ia yakin, suatu saat nanti Fazwan akan kembali dalam pelukannya.
"Iya. Kamu jaga diri baik baik. Ngga boleh kecapean. Ingat!" Fazwan lantas mendekat dan mengecup dahinya berlanjut jongkok dihadapan Anin. Dengan senyum mengembang, Fazwan menatap lekat istrinya. "Ayah berangkat dulu, nak. Jangan nakal! Kasihan bunda."
"Iya ayah. Hati hati," suara Anin yang lembut itu diangguki Fazwan.
Keduanya berjalan berdampingan menuju pintu utama. Saling merangkul satu sama lain disertai tawa yang menguar. Kali ini, Anin benar benar merasa bahagia. "Sudah ya, abang berangkat. Jaga anak kita."
"Ish! Iya sayang... ck, dari tadi diingetin terus," tangan Fazwan menyentuh puncak kepalanya. Terkekeh geli atas tingkah Anin yang semakin lama makin menggemaskan. Seakan disepelekan Fazwan. Ia mengerucut sebal.
Jas hitam dengan kemeja putih Fazwan tampak gagah. Mundur satu langkah mendapati Anin yang nampak menggetu. "Ih! Itu kenapa di monyongin gitu? Minta cium? Hmm."
Namun, andaikata mereka sadar. Bahwa ternyata dibalik punggung keduanya. Haura berdiri kaku memandang seluruh kejadian menyesakkan itu. Akankah Fazwan memahami perasaannya? Ataukah lebih memilih untuk tidak memperdulikannya?
Haura menahan sesak mencoba mendongakkan kepala. Tangannya bergulir mengusap perutnya yang rata. Jika ia menjadi Anin, betapa bahagianya Haura saat itu.
Jangan salah! Fazwan melihat tingkah laku Haura didepan tangga sana. Membasahi bibir bawah, ia langsung pamit mengendarai mobil. Membanting stir sangat keras. Bahkan telapak tangan Fazwan tanpa sengaja mengenai benda lancip. Terlihat dari dalam mobil, Haura pergi keluar rumah dengan tertunduk lesu. "AKHHHH!!"
"Mas memang suami yang buruk untukmu, Haura! Maaf karena melibatkanmu dalam masalah ini. Berulang kali bertengkar dengan diri mas sendiri. Nyatanya, mas tidak bisa adil. Mas egois!" Fazwan menatap lurus langkah Haura. Menggebrak kembali stir mobil.
"Mas cinta kamu Haura! Tapi mas juga sayang sama Anindira..."
Fazwan berangkat sore karena ada beberapa hal yang perlu diselesaikan. Dengan Haura berjalan gontai menyusuri kota. Ia sengaja memelankan kendaraan dan memilih mengikuti Haura dari belakang. Menunjukkan tetesan air mata yang perlahan jatuh. Fazwan terisak mengingat betapa buruknya ia membangun rumah tangga bersama Haura.
Sampai pada pintu tembus pandang tertulis Asahan Bakery Haura membukanya. Dan Fazwan yang parkir tepat dibelakang. Membuka mobil tergesa gesa, lelaki itu masuk kedalamnya.
---
"MAS FAZWAN?!!"
Baki yang Haura bawa tergeletak diatas meja. Pikiran masih kalut. Namun, Fazwan tiba tiba muncul dihadapan. Dengan setelan jas tadi siang. Ia menggulungnya sampai siku. Rambut yang masih basah karena air wudhu menambah kesan tampan padanya.
Fazwan tersenyum lebar mempersilakan duduk. Memalingkan wajah dan segera berbalik, ia mencekal tangan Haura. "Duduklah."
"Emm, Mas Fazwan kenapa ada disini?" ragu ragu Haura bertanya dan menata aneka roti dari baki.
Terkekeh, Fazwan berdiri menuntun istrinya duduk tenang. Menyejajarkan tubuh sedikit jongkok. Fazwan membenarkan baju Haura yang lecek karena kotoran krim kue. "Mas jahat ya sama Haura?"
Menggeleng keras Haura meraih kedua tangan sang suami. "Nggak kok! Saya seneng dideket Mas Fazwan terus. Rasanya... saya punya alasan untuk pulang hehe."
Fazwan tiba tiba tersentuh atas pengakuan Haura. Membiarkan seluruh mata memperhatikan mereka. Juga teman Haura yang ingin tahu tentangnya. Haura melepas genggamannya, memerintahkan Fazwan agar duduk diatas. Namun Fazwan menolak terus memandang dalam wajah Haura. Ia mengangguk pelan. Mengingat bagaimana harapan istri kecilnya itu.
Perut datar Haura ia usap lembut. Menjadikan sang empu terpekik keras. "Nanti akan ada anak kita disini. Haura, maafkan mas karena menyusahkan kamu terus," ungkap Fazwan berbisik.
"Mas Fazwan, ada apa?" Haura keheranan terhadap ulah Fazwan sedari tadi. Ia membiarkan Fazwan berdiri dan duduk disebrang.
Fazwan mengambil sendok, cuilan kue ia berikan pada Haura. "Tidak apa apa. Nih, coba kamu cicipi. Tadi mas juga bawa bekal. Haura belum makan, kan?"
"Bekal buatan Mbak Anin yaa. Mas Fazwan makan saja."
"Sayang..." mendesah kecewa, Fazwan sungguh kelimpungan karena Haura. Perempuan itu, punya sejuta cara untuk mengikis hatinya dari dalam.
Mengamati raut suaminya yang mulai berubah murung. Haura pergi meninggalkan Fazwan. Ia mengambil tas dibelakang pelayanan toko. Banyak bisik bisik dari Pandu, si karyawan julid. Tapi Haura hanya tersenyum menanggapi.
Kembali ke meja mereka, Haura membuka tas kecil berbentuk kotak. Menarik ujung lengan Fazwan dan tersenyum simpul. "Saya juga bawa bekal kok mas. Itu mas makan saja, kasihan Mbak Anin udah buatin cape cape malah dikasih ke orang lain."
"Nasi goreng?" Fazwan mengamati kotak makan Haura. Seringai tipis yang diangguki mantap. Menu kesukaan Fazwan, ia tahu itu.
Haura mulai memakannya. Seraya menambahkan beberapa bawang merah goreng terpisah. Biar sajalah ia makan nasi goreng ditoko. Toh, kalaupun ditegur bos galak itu. Haura akan beralasan Mas Fazwan.
"Mau kacang? Mas kupasin yaa..."
Mengambil plastik kecil didalam bekal Anindira, lelaki itu melepas jas hitamnya lantas disampirkan dibelakang kursi. Mengupas satu persatu kacang dengan menatap lama Haura dari sini. "Haura, sekali kali jangan pernah meragukan cinta mas. Kamu tahu betapa terlukanya mas melihat kamu menangis sendirian? Lalu mas tidak bisa apa apa untuk menenangkanmu."
"Iya, saya mengerti. Bahkan saya sendiripun juga sama terlukanya ketika melihat mas menyalahkan diri mas sendiri. Saya ingin terus berada disamping mas. Tapi saya tidak punya kuasa apapun," menghentikan suapan ketiganya. Haura menunduk membiarkan kalimat itu terlontar lancar.
"Kita perbaiki sama sama ya?"
Haura menegakkan tubuhnya. Suara bising dari Anin kemarin masih saja tergiang. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan suaminya. Fazwan yang paham gerak gerik Haura seketika terdiam. Menyodorkan beberapa kacang yang sudah terkelupas. "Sudah. Ini, cemilin kacang aja. Terus lanjut makan."
"Mas, maaf karena selalu merepotkan kalian. Tapi suatu saat nanti saya berjanji. Saya akan mengembalikan semuanya."
Fazwan tak merespon apapun. Ia sibuk mengupas kacang lantas memakannya. Sesungguhnya Fazwan mendengar celetukan Haura. Ada kalimat ambigu didalamnya. Maka dari itu, Fazwan memilih untuk tidak meladeni. Haura tenang memakan nasi goreng buatannya sendiri. Cukul pintar sih! Karena sering membuatnya bersama bapak dikampung saat nasi kemarin masih sisa.
Dari sini ia melihat Fazwan bermuka datar. Juga pelanggan yang sudah berbeda disetiap meja. Nyatanya, mereka sudah menghabiskan banyak waktu. Diana dan Katrin memincingkan mata kearah Haura. Jelas saja! Mereka ripuh bekerja, sedangkan ia enak enakan berdua dengan Fazwan.
Tangannya bergerak menuju perut yang tadi sempat diusap oleh Fazwan. Senyumnya terbit, mengingat perkataan sang suami. "Ada apa? Kok senyum senyum sendiri?" menyadari polah Haura. Ia langsung lempar pertanyaan.
"Kalau disini ada bayi. Kira kira mirip siapa ya? Mirip saya yang imut atau Mas Fazwan yang ganteng?"
"Mas ganteng ya, Haura?"
EH?!
Tubuh Haura menegang. Melepas belaian diperutnya dan membubarkan seluruh mimpinya. "Ma-maksud saya, emm an--"
"Ck! Tidak usah diperjelas. Mas memang ganteng dari lahir," potong Fazwan terus membela diri sendiri.
Memperhatikan tangan Haura yang tadi mengusap perut. Fazwan mengira jika saja istrinya itu iri atas Anindira. Ia sangat paham. "Berdoa saja Haura. Bukannya mas belum siap menerima anak dari kamu. Tapi Anindira keadaannya ini juga sedang hamil. Tolong, mengalah dulu yaa."
"Emm, iya mas. Saya selalu mengalah kok."
![](https://img.wattpad.com/cover/283545305-288-k367042.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Merindu Kalam Surga (END)
Ficción GeneralSarjana-sukses-bahagia Impian Haura sederhana, hanya ingin akhir bahagia dan dapat membungkam ocehan orang orang yang merendahkannya. Wanita itu punya sejuta cara untuk mewujudkan mimpi. Karena keterbatasan ekonomi, Haura kabur dari rumah tengah mal...