Karyawan satu persatu pulang kerumah masing. Menyisakan diriku dan pak bos yang merenung. Ingin pulang, tapi masih malas berhadapan dengan Mbak Anin. Tau sendirilah. Wanita itu bahkan setiap hari selalu mengkritik kinerjaku melayani Mas Fazwan. Menuduh yang bukan bukan, ya katanya tidak mau beberes rumah lah, apalah.
“Kamu tidak pulang Haura?” pak bos menoleh ke mejaku. Menopang dagunya seraya memandang dari atas sampai bawah.
“Ah! Iya, saya pulang pak. Tokonya mau ditutup sekarang? Saya siap siap.”
Namun pak bos muda seketika berdiri, mengambil secangkir kopi. Beliau duduk didepanku. “Saya tau kamu punya beban hidup cukup berat, Haura. Ck! Kalau masih disini silakan.”
“Kelihatan ya pak?” patut dikasih bintang lima sih bos besar ini. Menngangguk setuju, ia memberikan secangkir kopi tadi padaku. Tanpa ragu aku menerimanya, lagi lagi namanya rejeki tidak boleh ditolak. Bukankah begitu?
“Makanya Haura, orang susah itu jangan terlalu dipamerin. Buat apa? Yang benci akan makin benci sama kamu. Sebaliknya, coba kamu ketawa terus, happy happy. Orang bakal peduli bukan karena kasihan. Right?”
Tumben, ada apa beliau hari ini? Aku menatap dalam dengan penuh tanda tanya disekitar kepala. Menunduk seraya menggerakkan pelan kedua kaki. “Ketawa terus gila dong pak?”
“Aish! Kamu itu dikasih tau malah becanda. Saya beneran Haura, sekarang kamu harus menjalani hidup sesuai sama keinginanmu. Jangan mau disetir orang lain. Paham?” pernyataan pak bos membuat keningku berkerut samar samar. Tak begitu paham sebenarnya untuk otak yang pas pas an ini.
“Paham pak,” mau tak mau menyudahi percakapan kurasa tepat. Pak bos bernafas lega lantas menepuk bahuku pelan.
“Oke, sudah malam. Tidak mau pulang saja? Mungkin Pak Fazwan sudah menunggumu.”
“Maksudnya?” sedikit ambigu mendengar pak bos. Menggigit bibir bawah penuh ketakutan. Jangan jangan…
---
Untung saja, aku selalu membawa kunci cadangan. Kalau sudah begini bagaimana bisa masuk rumah? Perlahan suara pintu yang kudorong terdengar lirih. Keadaan rumah cukup sepi dan… gelap. Wajar, karena jam menunjukkan angka 11. Tidak baik sih perempuan malam malam baru pulang. Apalagi sudah menjadi istri. Ya, tapi mau bagaimana lagi? Kalau tidak ada usaha. Mungkin dikampung Mbak Maya bisa mengejekku sepuasnya.
Barangkali diingatkan kembali, menghubungi ibu melalui nomernya sendiri. Akhir akhir ini sangat susah. Sudah lama aku menahan kerinduan. Huh! Menginjak tangga pertama lantas langsung ke kamar. “Alhamdulillah, aku bisa merebahkan punggung yang sudah encok ini.”
Tapi tunggu! Ada sesuatu dinakas. Menyipitkan mata lalu mendekati. “Kue?” ya, tak salah lagi.
Tulisannya ucapan ulang tahun untukku ke-20. Siapa yang mengirimnya? Aku bersidekap memikirkan kemungkinan. Terlebih, kurasa pernah melihat bentukan kue ini di—
Toko Asahan Bakery! Tempatku bekerja.“Mas Fazwan?” tanyaku dalam hati. Ck! Suamiku ternyata bisa romantic juga. Jadi baper.
TOK TOK TOK“Stt! Sayang…” panggilan dari luar pintu membubarkan semua pertanyaanku. Membukanya kemudian membiarkan Mas Fazwan masuk. Aku bersembunyi dibelakang pintunya dengan mencolek krim kue yang berwarna pink diseluruh jari. Ah! Bukan hanya dia saja memberiku kejutan. Akupun juga bisa lah.
“KEJUTANNN!!”
Ketika itu aku mencubit pelan wajah Mas Fazwan dengan jari penuh krim. Kalian tahu apa yang kurasakan? Ingin tertawa puas. Ya! Melihat belepotan krim. Bahkan sampai ujung matanya. “Astagfirullah, Haura!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Merindu Kalam Surga (END)
General FictionSarjana-sukses-bahagia Impian Haura sederhana, hanya ingin akhir bahagia dan dapat membungkam ocehan orang orang yang merendahkannya. Wanita itu punya sejuta cara untuk mewujudkan mimpi. Karena keterbatasan ekonomi, Haura kabur dari rumah tengah mal...