Karna sejatinya, perempuan itu dibimbing. Bukan membimbing.
-Merindu Kalam Surga-
Astaga, ternyata dunia itu sempit ya. Dalam sekejab terdiam. Tubuhku tiba tiba kaku untuk memahami ini semua. Perempuan yang aku tolong tadi, tak lain dan tak bukan adalah istri dari suami sendiri. Gimana ya, agak gitu deh karena tadi berhasil menyelamatkan nyawanya. Tersenyum kikuk meliriknya yang pucat pasi. "Kamu yang nolong saya tadi ya? Bagaimana kondisi telapak tanganmu?"
Ia ikut berdiri ditengah tengah aku dan Mas Fazwan. Ah! Cocok sudah menjadi peran perempuan durjana. Menggenggam luka yang masih basah tadi dan menyembunyikan dibalik tubuh. Sakit sebenarnya, tapi masih tahan kok. Kulihat juga Mas Fazwan memandang khawatir.
"Tidak apa apa, Mbak. Alhamdulillah sudah mendingan."
Bohong!
Tidak ada mending mendingan. Ini masih sakit, aku harus menjaga image dihadapan istri pertama. Apa aku juga disebut madu? Hah, rasanya ingin pulang. Memainkan jari jariku yang tergores aspal tadi. Meringis dibalik senyuman manis. Ingat prinsip, tetap kiyowo.
Lama lama, ketika kami larut dalam keheningan dan pikiran masing masing. Kurasakan kehangatan ditangan. Seperti ada yang membelai lembut setiap sela jari. Tersentak, menoleh kesamping. Yang ternyata Mas Fazwan tengah menenangkan lewat sentuhannya. Sepersekian detik terkesima. Perlakuannya yang tak terduga mampu membuat terus menduga duga.
"Saya minta maaf atas perkataan Mas Fazwan. Seperti katanya tadi, ini bukan seperti yang kamu dengar. Kami hanya bercanda," perempuan itu membuka suaranya lantas menekankan setiap ucapan.
"Ah, oke. Aku salah dengar. Nanti aku akan ke dokter untuk memeriksanya."
"Jika tidak ada masalah tentang pendengaranku. Berarti kalian yang salah. Permisi," lanjutku penuh ketegasan. Setelahnya memilih mundur dan meninggalkan mereka. Hingga genggaman Mas Fazwan juga ikut terlepas.
---
Berpura pura itu sakit. Ya! Aku kira dengan pura pura tidak tau akan lebih melegakan. Namun nihil, tak kudapati ketenangan sama sekali. Malah hanya teka teki yang terus berputar dalam otak. Apa hubungan Mas Fazwan dengannya sebenarnya? Benarkah yang dikatakannya?
Huft!
Tidak bisa terus santai seperti ini. Menengadahkan tangan menikmati sisa hujan, aku mendesah pelan. Harus bisa mencari tahu kebenarannya. Jika benar aku adalah istri kedua Mas Fazwan. Dengan cepat, meminta cerai darinya adalah pilihan. Em, tapi kalau minta hal itu pada Mas Fazwan. Bagaimana nasibku disini? Tidak ada jaminan yang sanggup membiayai kuliah. Aish! Aku pusing.
"Halo?"
"Tolong jangan dimatikan, Haura. Ini ibu. Ibu hanya ingin memberitahumu kalau tanah bapak yang didesa akan dipindah tangankan pada Mbak Maya."
"Bu? Aku tidak salah dengar?" tanpa terasa, air mataku menetes hingga jelas tertangkap Mas Fazwan. Segera aku menghapusnya lantas meninggalkannya tak mengucapkan apapun.
"Huh, hidup memang kejam."
Aku menatap luas hamparan langit, mencari celah jalan permasalahan sekarang. Tidak ada tempat bersandar bagiku. Semua hancur karena terlalu menaruh harap lebih pada seseorang. Dulu aku sangat berambisi untuk masuk diperguruan ini. Belajar hingga lupa waktu dan pekerjaan rumah.
Segalanya dilaakukan, agar bisa membungkam ocehan pedas dari tetangga tentang keluargaku. Mana mungkin, seorang anak tukang becak bisa masuk kuliah?
Dinginnya udara mulai menusuk hati. Dicampur dengan panasnya kejadian tadi. Allah! Sanggupkah menjalaninya? Apa ini akibat dari keegoisan memaksa untuk kuliah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Merindu Kalam Surga (END)
Ficção GeralSarjana-sukses-bahagia Impian Haura sederhana, hanya ingin akhir bahagia dan dapat membungkam ocehan orang orang yang merendahkannya. Wanita itu punya sejuta cara untuk mewujudkan mimpi. Karena keterbatasan ekonomi, Haura kabur dari rumah tengah mal...