BAB 16: Ciee! Mas Suami Khawatir

137 8 0
                                    

Ck! Suasana kembali canggung lagi. Ditambah kehadiran Mas Fazwan ditengah tengah kami. Ia tersenyum lebar memberikan jaket maroonnya padaku. Jelas sudah, masa menjadi babu dimulai. Aku mengacir meraih panci lantas menuangkan air. Menghidupkan kompor dan membubarkan diskusi dengan bibi.

Aku tidak tahu dari mana Mas Fazwan keluar. Tidak biasanya ia berpakaian santai seperti itu. Apalagi, sedikit demi sedikit aku berhasil mengenal kepribadiannya. Suamiku itu lebih memilih berdiam dirumah jika tidak ada hal penting untuk keluar. Ia lebih asyik duduk disudut pintu kaca dengan setumpuk buku.

Ah! Aku baru ingat. Kan Mas Fazwan masih marahan denganku. Pantas saja, selepas ia bertanya. Mas Fazwan bungkam dan mengabaikanku yang menatap lekat wajah tampannya. "Emm, Mas Fazwan mau teh atau kopi? Air nya sebentar lagi mendidih."

"Tidak," jawabnya tanpa memperhatikanku tengah sibuk memainkan jari.

"Terus air panas nya gimana?"

Ia berdecak kesal, meletakkan kasar hp diatas meja makan. "Buang aja."

"Mas..." lelaki itu benar benar ingin menguji kesabaranku ternyata. Aku beralih menggapai kompor dan segera mematikan.

Clek

Tanpa banyak bicara, aku langsung meraup ujung panci itu. Kita lihat saja mas! Aku akan turuti perkataanmu. Bukankah istri harus patuh pada suami? Mataku terus memancarkan kekesalan, melayangkannya pada Mas Fazwan--

PRANGG!!

"AAAA!!"

"HAURA!!"

"Kamu baik baik saja?" Mas Fazwan seketika turun. Menggenggam tanganku dengan cepat. Ia meniup pelan disertai raut khawatirnya. Sejenak, aku bisa melihat ketulusan didalam sana.

"Bagaimana kalau aku tidak baik baik saja?"

Kubuat sesedih mungkin, walaupun pita suaraku sedikit tercekik. Aku memaksakan untuk menyanyikan lagu yang sedang viral saat ini. Hehehe, aku memang suka stalk lagu lagu. "Ck! Dibilangin sama suami suka ngeyel," ia kembali berdiri.

"Terus mengingatmu, memikirkanmu, semua tentang dirimu..."

"Bagaimana kalau aku tidak baik baik saja?" ku lanjutkan bait bait lagu. Menatap nanar ujung jariku yang sempat tersiram air panas.

Mas Fazwan menoleh, gelagatnya cukup membuatku terkekeh geli. "Haura, air panasnya memang benar benar panas ya?"

"Tak seperti kamu, yang mampu tanpaku," spontan menoleh padanya, aku berusaha mendramatisir suasana. Aha! Geli euyy. Memperhatikan Mas Fazwan mulai mendekatiku yang duduk bak putri duyung kesasar.

Tangannya menyentuh ujung bahuku. Ia ikut terduduk seraya membasahi bibir bawahnya. "Haura!! Jangan becanda. Saya khawatir!"

"Ciee khawatir. Ngga ngambek lagi nih ceritanya..." ujarku bersemu merah.

Aku terdiam memandangi tumpahan air berserakan di bawah. Begitupula Mas Fazwan yang setia menggengam tanganku. Huh! Mbak Maya memang selalu membuat pikiranku kalut. Pandanganku lurus menerawang kisah hidup yang pilu. Dan aku mulai sadar, bahwa sekuat apapun aku mencari perhatian ibu. Tetap saja, Mbak Maya pemenangnya. Dia tetap menjadi putri mahkota ibu. Yang tidak terima ketika Mbak Maya dijatuhkan oleh siapapun itu, termasuk aku.

Sama halnya dengan keluarga besarku, semua yang ada didalamnya terus membela. Hingga aku bingung. Dimana lagi tempatku bertaruh?! Dimana lagi aku butuh pembela yang siap membantuku. Mereka menyalahkanku atas sesuatu yang bukan salahku. Penyakit mental Mbak Maya benar benar membuatku iri. Padahal, secara akademik aku tidak patut untuk iri padaya.

Kala itu, ketika aku bimbang dan menyesal untuk meredam dendam...

Suasana mencekat, aku yang tidak tau harus menlanjutkan pembicaraan. Dan Mbak Maya akan meneteskan air mata. "Ibu, bagaimana kalau kita rebutan motor?" lanjutku tulus.

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang