BAB 30: Kepanikan Liliana

109 8 0
                                    

“PAK FAZWAN!!”

Ahay! Sumber uang akhirnya ketemu. Riang gembira ia menyambut Pak Fazwan menuju loket pembayaran. Dan orang yang ditatap kagum pun hanya memberikan seulas senyum. Dari sini, bau anyir darah pasien masih tercium tajam. Terlebih baru saja Haura yang penuh darah melewati sini. Katanya jalur tercepat UGD. “Khem, begini Pak Fazwan terhormat. Perkenalkan saya temannya Haura.”

“Saya tau,” Fazwan cepat menangkis pernyataan Liliana. Menurut pandangannya, itu tidak penting.

“Boleh saya minta tolong pak? Tolong sekali pak, saya sedang butuh.”

Sekarang, tinggalkan gengsi naikkan rasa tidak tahu malu. Mungkin karena keberaniannya ini Liliana bisa mendapatkan hal yang diinginkan itu. Fazwan mengeryit bingung seraya memasukkan kedua tangan kesaku celana samping kanan kiri. “Butuh apa?” tanyanya datar.

Oke, Liliana! Tarik nafas… buang…

“Saya butuh uang pak buat memenuhi persyaratan rumah sakit,” hahh! Setelah sekian lama tertahan ditenggorokan dan menyangkut dipita suara. Liliana lantang mengucap itu hingga petugas pembayaran tercengang. Ia juga menjadi pusat perhatian dari tatapan orang orang.

“Kenapa harus minta saya? Kamu tidak ada
Persiapan untuk masuk rumah sakit?”

Bodoh! Ini untuk istrimu!! Aih.. sabar Liliana.

Senyum Liliana terbit secerah cahaya matahari pagi hari. “Tolong pak! Ini buat temen saya…”
“Abang bicara sama siapa?” Liliana menutup mulutnya rapat. Menoleh pada suara mendayu seorang perempuan. Matanya terbelalak mendengar balasan Fazwan.

“Loh, abang kan sudah pesen jangan keluar dulu sayang. Nanti kamu capek.”

Gila! Liliana sampai tidak bisa berkata kata lagi. Perempuan yang tengah mengusap perut buncit itu adalah istri pertama suami Haura? “Mbak Liliana, bisa tolong percepat? kita tidak bisa menundanya lagi. Ini masalah hidup mati orang mbak.”

Ia terlonjak atas bisikan perawat yang melintas. Tidak ada pilihan lain, segera mendekati Fazwan. Kebetulan laki laki itu mengeluarkan kartu ATM dari dompet. Agresif sekali ini saja tidak akan menimbulkan masalah kan? Toh, Liliana melakukan hal benar. Jika ia tidak merampas uang Fazwan. Haura mungkin akan semakin kesakitan. “MAAF PAK FAZWAN!! SAYA REBUT DULU UANG TUNAINYA.”

“Hei! Apa apaan kamu ini,” Fazwan berusaha meraih kembali uang yang sudah bertukar ke tangan Liliana. Tapi, jangan ragukan kekuatannya! Liliana selalu berhasil hanya karena masalah sepele ini. Anindira yang tidak paham tingkah mereka hanya bisa memperhatikan diam.

“MBAK! SAYA SUDAH BAWA UANG. SEMUANYA TOLONG MASUKKAN KE DATA PASIEN UGD YANG BARU DATANG TADI KARENA KORBAN TABRAK LARI. SEKARANG!!!”

Nafas Liliana tak karuan, menatap hidung Fazwan juga memerah. Ia tidak peduli! Poin pentingnya satu langkah menyelamatkan Haura. “Terimakasih banyak Pak Fazwan. Saya pastikan, Pak Fazwan tidak akan menyesal mengeluarkan sejumlah uang ini. Atau malah nantinya sangat berterimakasih pada saya.”

---

Lampu ruang operasi dinyalakan. Liliana mematung berpikir, apakah tindakannya sudah tepat? Lama tak bertemu Haura namun sekalinya ketemu malah membuat jantung disko. Panjatan doa bahkan terus melambung tinggi. Bisik bisik mengangungkan nama Allah semakin kuat. Tolong! Biarkan Haura selamat dan bisa segera balas dendam dengan dua makhluk penuh aura negative.

Dua jam telah berlalu, tapi ketakutan Liliana masih menancap jelas. Kursi panjang disini mungkin sudah bosan melihat perilaku Liliana yang makin tak karuan. “Lama sekali!” berkali kali juga dering telpon berbunyi akan tetapi tak dihiraukannya. Liliana lebih memfokuskan operasi Haura.

Semenit setelahnya, jajaran dokter dan para asisten keluar. Wajah wajah lega dari mereka sedikit membuat Liliana bernafas panjang.
“Gimana operasinya dok? Haura baik baik aja kan?”

“Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar mbak. Tapi keadaan pasien saat ini masih tidak sadarkan diri. Mungkin sebentar lagi—”

“Sebentar lagi kenapa dok?” ucapan dokter itu ambigu sekali. Tiba tiba berhenti sejenak pula! Liliana melihat salah satu perawat disamping mengangkat telpon. Entah dari mana itu.
Liliana mencoba tenang membiarkan mereka berdiskusi. Mengintip ke pintu operasi transparan itu ia menemukan Haura berbalut selang oksigen dan masih menutup mata. “Ohh, begitu ya pak.”

Ia menatap mereka berbicara dengan penelpon.
“Saya coba tanya walinya pak. Ah iya! Tunggu dulu.”

“Sebentar lagi juga akan sadar kok mbak,” dokternya melanjutkan pembicaraan kepada Liliana.

“Mbak Liliana, bisakah menghubungi keluarga dekat pasien? Orang tuanya barangkali.”

Ia menggeleng sangat pelan, mengingat keberadaan Haura seorang diri. Lebih lagi ada banyak masalah dalan keluarganya. “Haura anak perantauan disini.”

“Bagaimana dengan jenazah laki lakinya mbak?”

“HAH?! JENAZAH LAKI LAKI SIAPA??” Liliana kembali terkejut, berdiri didekat dokter perempuan itu penuh tanya. Setahunya, Nugraha ikut masih ditangani di ruang UGD.

“Korban tabrak lari juga sama pasien ini.”

Tunggu! Jangan jangan… ah, tubuh Liliana berhenti merespon. Membatu dan mendengarkan ucapan terngiang ngiang diatas kepalanya. “Nugaraha meninggal??”

“Oh, namanya Nugraha. Iya mbak! Meninggal ditempat tapis ama warga sekitar dibawa kesini,” dinginnya lantai rumah sakit sampai menembus dalam kaki Liliana. Air matanya menetes satu persatu.

“Saya pusing dok. Boleh, saya pingsan saja disini?” otak nya tak bisa ditambah beban. Liliana merosot menerima kenyataan lebih pahit ini. “Jangan dulu mbak! Kalau pingsan, siapa yang bakal ngurus semua ini?”

“AAAA… SAYA MAU PULANGGG.”

Jeritan mengejutkan Liliana sempat membuat dokter kelabakan. Namun bantuan beliau ditepis oleh perempuan berpita hijau tua itu. Liliana menggerutu mengingat peranan Pak Fazwan, suami Haura. Ia benar benar kesal serta jengkel setengah mati. Sekuat tenaga Liliana menyatukan genggaman tangan bersiap melayangkan tinju untuk Pak Fazwan. Sebab ia melihat satu objek dari sini. “PAK FAZWAN!! SAYA KEBINGUNGAN MIKIR HAURA SEKARAT TAPI PAK FAZWAN MALAH MESRA MESRAAN SAMA DIAAA!!”

Dengan geram, Liliana melepas sepatu hak tinggi lantas melempar kearah mereka. Fazwan mendengar teriakannya seketika menghentikan tawa.

Benda itu melayang, satu… dua… ti—

DUKKK

“MAMPUSS!”

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang