BAB 7: Pencari Masalah

166 17 1
                                    

"Jangan menyalahkan apapun perihal takdir. Andaikan kita mampu menghitung nikmat yang telah Allah berikan. Niscaya, kita akan meleleh lantaran cinta-Nya.

Sebanyak mungkin mencari duniawi, jelas tak akan dapat. Karna sejatinya duniawi adalah fatamorgana manusia.

Yang semakin didekati, semakin hilang.

Maka janganlah sibuk melacak dunia namun lalai perihal urusan akhirat. Sesungguhnya, Allah mencintai hambanya yang senantiasa bersabar dalam setiap keadaan."

-Merindu Kalam Surga-

Perlahan tapi pasti, aku menegakkan tubuh menggeser mundur dari Haura. Perempuan itu tak sedikitpun terganggu atas pergerakanku. Hembusan nafas teratur terdengar seolah Haura menikmati tidurnya. Aku dan dia tidak melakukan apa apa tadi. Ya, bisa dikatakan ini malam pertama kami. Namun aku tidak mau jika ini dilakukan mau dengan tidak mau.

Temaram lampu pijar diatas nakas membuatku tenang. Menyibak selimut lantas berdiri, aku menoleh memastikan Haura. Merasa tidak terbangun. Aku meraih kunci mobil dan langsung menuju pintu. Tidak bisa dibiarkan, kali ini aku harus bertemu dengannya. Menjelaskan serinci rincinya disana. Sungguh, aku mencintainya. Tak ada satupun yang bisa mengganti kedudukannya dihati.

Waktu menunjuk pukul satu malam. Sesampai pada RS Permata, tanpa banyak bicara aku langsung ke tempat tujuan. Hening! Hanya satu dua orang yang melintas.

"Sayang..."

Tubuh perempuan diatas blankar terbujur tak karuan. Aku meringis melihatnya, kesalahanku apa memang terlampau keterlaluan? Menaruh kunci mobil disamping makanan. Aku teriris kala mengetahui banyak makanan tak tersentuh.

"Abang mohon bangunlah! Aku sudah disini untuk menemanimu."

Tak kuat menahan tangis, air mataku berderai jatuh ditelapak tangannya. Hingga dia pelan pelan membuka kelopak mata yang mulai menghitam. "Abang..."

"Anindira sayang, iya abang disini. Kamu mau apa? Makan? Minum? Atau cium? Hmm?"

"Ishh!" aku terkekeh pelan. Bibirnya yang mengerucut sebal membuatku tak tahan untuk menyambarnya. Dengan penuh sayang aku mengelus puncak kepala.

"Kenapa abang disini? Bukankah ini malam pertama abang?"

"Jangan mengatakan apapun yang membuatmu sakit hati," sedikit ada tidak suka di nadanya. Aku paham betul posisi kami saat ini.

Anindira berusaha menegakkan tubuh, namun cekalan tangan kekar itu terlebih dahulu membantunya. "Dia istri abang."

"Kamu juga istri abang, Anin."

Aku menghembuskan nafas kasar. Duduk gontai disamping Anin. Sungguh! Aku juga tak mau berada dalam situasi rumit seperti sekarang. Andai saja dulu Anin tidak memaksaku untuk berpoligami. Aku tidak akan sudi untuk menikah lagi. Apalagi dengan perempuan yang sama sekali tidak aku kenal.

"Abang pulang saja ya. Kasian istri abang sendirian dirumah," Anin berpaling menahan derai air mata yang terus memaksa untuk keluar. Ia menggenggam kuat selimut hingga tak terbentuk.

"Dia bisa jaga diri. Tolong jangan bahas itu lagi saat kita bersama. Oke?"

"Aku merusak malam pertama kalian," ujarnya bernada pasrah. Perlahan ia memberanikan diri menatapku dengan penuh luka. Luka dalam batinnya yang tidak aku ketahui pastinya. Namun tatapan itu, benar benar membuatku sakit.

"Sayang, dengarkan abang. Aku sebenarnya tidak mau menuruti kemauanmu untuk poligami. Tapi kamu terus memaksa abang dengan alasan kamu sakit sakitan, tidak berguna, tidak pantas dicintai dan lain sebagainya. Saat abang sudah menuruti kemauanmu. Kenapa rasa rasanya kamu tidak rela?"

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang