BAB 6: Jangan Jatuh Cinta

189 19 1
                                    

"Jika hati telah jatuh pada wadah yang keliru. Siap siap saja terluka hingga patah. Menaruh hati pada seseorang tidak salah. Yang salah adalah ketika kita menuntut orang itu untuk mencintai. Jangan memburu perasaan sampai mati matian berlari.

Pelan pelan saja...

Namun andaikata sudah tak ada daya meluluhkan. Selayaknya kita juga bisa sadar diri. Pada hakikatnya, perempuan itu menunggu. Bukan mengejar."

-Merindu Kalam Surga-

"Bersihkan dirimu."

Pak Fazwan menungguku ditempat tidur. Ia menghembuskan nafas kasar dan menjatuhkan diri. Kali ini mungkin ia benar benar lelah, sampai sampai aku tidak berani mengganggunya. Tadi aku diantar oleh Pak Fazwan untuk mengambil barang barangku dimasjid. Seraya mohon pamit pada takmir masjid yang sudah sudi menampungku disana. Sungguh, pengalaman istimewa tidak akan aku lupakan sampai kapanpun.

Selepas itu aku diantar disebuah rumah sederhana namun sangat mewah didalamnya. Entah didaerah mana aku tidak tahu. Aku hanya ikut saja pada suamiku sekarang. Kamar yang sedikit luas dengan kasur putih bersih dipojok kanan. Rak rak buku tersusun rapi disampingnya. Tak lupa dipan kecil tempat lampu tidur. Aish! Aku terlalu banyak melamun. Dengan sigap aku masuk kamar mandi tanpa memperdulikan hal hal lain.

Sudah lengkap, aku membuka knop pintu lantas menuju sebuah meja rias disisi kiri tempat tidur. Aih! Lengkap sekali dirumah ini. Dengan senyum bahagia, aku menata jilbab segi empat yang telah aku lipat menjadi segitiga dan memasangkan pada ujung kepalaku. Aku tidak melihat Mas Fazwan dari tadi. Ah, entahlah. Aku tidak mau merepotkan diri sendiri demi lelaki itu.

"Ambil wudhu, belum sholat isya' kan?"

"Mas?" aku tersentak kala melihat pantulan Mas Fazwan dari cermin. Ia telah rapi memakai kaos dan celana santai. Mungkin tadi dia sudah mandi di kamar mandi lain.

"Saya tunggu disini."

Tanpa banyak bicara, aku kembali menuju kamar mandi. Ada segelenyar rasa terpesona pada Mas Fazwan. Ia mengajakku untuk sholat bersama. Dan itu artinya kali ini Mas Fazwan menjadi imam pertama dikeluarga kecilku. Aku melupakan perkataan Liliana tempo lalu. Sedikit ada rasa tidak percaya pada gadis itu. Buktinya saja Mas Fazwan mengingatkanku pada sang pencipta. Bukankah seseorang yang mencintai kita selalu mengingatkan pada Allah?

"Sudah mas," mendekat pada Mas Fazwan. Rupa rupanya lelaki itu sudah menyiapkan segala perlengkapan sholat. Mulai dari mukena yang akan aku pakai, sajadah, tasbih, dan lainnya. Oh Allah! Bagaimana hatiku tidak luluh jika belum apa apa sudah disuguhkan oleh bentuk ketakwaan suamiku padamu?

Aku tersenyum simpul. Meraih mukena berwarna putih itu dan segera memakainya. Mas Fazwan menatap lekat diriku yang tengah sibuk dengan mukena. "Jangan terlalu kagum pada saya."

"Maksud mas?"

"Saya tidak sebaik yang kamu kira," berhenti sejenak aku balik menatap raut Mas Fazwan yang mulai menunjukkan sisi tegasnya.

"Andaikata suatu saat nanti kamu jatuh cinta pada saya. Tolong padamkan saja rasa itu," lanjutnya melengos seraya membenarkan letak peci.

"Sa-saya tida--"

"Sebelum semua terlanjur. Kali ini saya memperingati terlebih dahulu kepadamu."

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang