BAB 39: Hidup Baru Bersamamu

375 6 2
                                    

Dihimpit duka kali ini, Haura sempat tak mengerti. Bagaimana Allah mengatur jalan hidupnya? Mengapa semua hal yang terjadi padanya harus seperti ini? Haura menatap dalam atensi milik ibunya seraya mendesah lesu. Sanak saudara yang sibuk memasak didapur untuk memperingati empat hari usai bapak dikebumikan.

"Kenapa nduk? Ada yang mengganggumu?" tanya ibu dengan mengusap pelan rambutnya.

Ketika alunan suara yang Haura rindukan selama ini berdengung hingga gendang telinganya ia kembali menatap lekat. "Ibu... maafkan Haura."

"Loh, kenapa minta maaf? Haura tidak salah apa apa kok."

"Haura banyak salah sama bapak dan ibuk. Banyak kejadian diperantauan sana yang membuat Haura jadi paham buk. Kalau didunia ini, tidak ada yang lebih berharga dibandingkan keluarga," ia mendekat dan mendekap ibu diiringi isakan kecil. Namun, saat kata terakhir itu terlontar. Pikirannya juga berfokus pada laki laki dengan nada tegas itu.

"Pasti sulit ya, hidup sendiri diperantauan. Anak ibuk hebat."

Ibu mengangguk membalas setiap pelukan Haura. Orang tua mana yang rela membiarkan anaknya hidup sendirian di kota orang. Bahkan setiap sepertiga malam, beliau selalu menangis mengingat Haura. "Haura takut buk, di-disana Haura sudah ngga kuat--"

"Stt! Tenang sayang. Anak ibuk yang cantik tidak boleh cengeng ya."

Dari arah pintu depan, terlihat Maya memperhatikan mereka diam diam. Hatinya ikut tergores sebab banyak peluh air mata keluar dari sang adik. Selama Haura pergi, Maya tidak absen untuk mencari tahu kehidupannya. Layak atau tidak. Satu yang ia tahu. Maya telah gagal menjadi kakak bagi Haura.

Ia memukul pelan dada lantas pipinya ikut basah. Maya tahu, adiknya menjadi istri kedua dari seorang laki laki disana.

"Haura, bisa kita bicara sebentar?"

"Mbak Maya..." Haura menoleh kemudian mengangguk patuh. Mereka pergi kedalam kamar Maya meninggalkan ibu menyeka mata.

Rumah sederhana yang cukup untuk ditinggali satu keluarga. Berbeda dengan rumahnya dan Mas Fazwan, terbilang cukup mewah. Maya mempersilahkan Haura duduk diatas ranjang. "Ada apa, mbak?"

"Gimana kabarmu?" Haura mengeryit bertatapan kepada Maya.

"Baik mbak."

Helaan nafas panjang terdengar sampai Haura. Ia menundukkan kepala dalam. "Aku cuma mau bilang Haura. Selama ini, aku nelponin kamu semata mata untuk memastikan keadaanmu. Maaf sekali, kalau aku sering maksa buat nyerahin tanah itu. Tapi Wallahi Haura, rencananya tanah itu dijual untuk pengobatan bapak."

Tubuh Haura terangkat, dari punggungnya yang terlihat naik turun menahan sesak. "Seharusnya Mbak Maya ngomong sama aku kalau bapak lagi sakit parah. Dengan begitu aku bakalan setuju buat serahin tanah itu."

"Mbak takut nanti malah nambahin pikiran kamu."

"Tapi aku menyesal mbak. Kenapa tidak dari dulu aku nyerahin tanah itu. Meskipun sama bapak ya dipaksa untuk tidak menyerahkan."

Tangan Haura ia belai lembut, menepuk pelan bahu adiknya bergetar tak karuan. "Tidak perlu menyesal, Haura. Ini sudah takdir. Sekuat apapun kita melawan kematian berlari sampai ujung dunia sekalipun. Qadarullah, kematian bisa menjemput bahkan saat kita menolaknya."

"Aku mohon ampun Mbak Maya," Haura berdiri memeluk kencang Maya. Keegoisannya malah membawa petaka. Begitu pula dengan Nugraha.

"Aku juga minta maaf kalau selama ini banyak nyakitin hati kamu."

Haura menggeleng pelan, menyelungsupkan kepala pada leher Maya. "Banyak masalah ya disana? Suami kamu tau, kalau kamu pulang kesini?"

"Mb-mbak..." ia langsung melepas pelukan pada Maya. Menatap penuh keterkejutan.

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang