BAB 22: Lagu Untuk Suamiku

114 7 0
                                    

"Pada awalnya, kita berikrar sesungguhnya jalan yang ditempuh akan memperoleh sebuah hasil.
Seluruh kemungkinan berlangsung, namun pada akhirnya. Jalan kita memang bertentangan. Dan mustahil untuk melebur jadi satu.

Surga yang kau bentangkan lebar padaku, mas...

Jelas telah menjadi surga bagi perempuan lain. Dan berkenan atau tidak, aku harus menempuh surga sendirian.

Dengan sabarku, yang kini mulai menipis. Insya Allah jika waktunya tiba. Akan kukembalikan semua kepadamu. Hingga tidak tersisa barang sedikitpun. Karena, aku percaya...

Berharap kepada Allah saja sudah cukup."

-Merindu Kalam Surga-

“Eughh…”

Dengan masih mata yang tertutup rapat, aku meraba tempat tidur disamping. Tak merasakan apapun lantas membuka mata cepat. Menoleh bekas Mas Fazwan yang baru saja tadi malam menemaniku. Kemana dia? Tanpa berprasangka lain, aku segera ambil wudhu dan shalat subuh. Takbir demi takbir hatiku terasa hampa. Yang biasanya didepan ada sosok imam memimpin. Kini kosong hanya ada diriku.

Setelahnya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan Mas Fazwan. Ketika menuruni tangga aku masih saja tersipu malu mengingat kebersamaan dengan Mas Fazwan. Ah, hari ini mungkin nasi goreng udang akan jadi favorit. Mas Fazwan kan maniak udang. Tangga terakhir aku pijak. Dari sini dapur sudah terlihat. Ck! Memang tidak sabaran, aku berlari kencang agar ide ini tidak hilang.

Namun belum sampai, langkahku terhenti. Melihat Mas Fazwan dengan senyuman khasnya memeluk seorang wanita dari belakang. Menempelkan dagunya kemudian menjahili dengan menggelitik pinggang wanita itu. Anganku terusik dilanjutkan dada yang mulai memanas.

“Mbak Anin?”

Apa mungkin, Mas Fazwan pergi dari kamar gara gara menemui Mbak Anin?

Hahaha! Lucu. Aku belum pernah mendapat lelucon yang sampai menyakiti seperti ini. Tanganku menggenggam angin dengan sangat kuat. Menghentikan perih menguar. Sampai lupa sebenarnya belum sempat memotong kuku. Dan ya, telapak tanganku mengeluarkan darah. Namun ini tidak sebanding dengan tawa lepas mereka.

“Loh, Haura? Kamu sudah bangun? Ayo sini kita sarapan bareng.”

Aku menatap ajakan Mbak Anin. Langsung saja Mas Fazwan mengurai pelukannya. Berdehem lantas duduk mengambil secangkir air. Aku juga sampai tidak sadar, darah dari telapak tangan bisa ikut berjatuhan mengenai lantai. Pagi ini membiarkan tugas di alih pindahkan oleh Mbak Anin.

“Sudah shalat?” ia duduk didepanku, lebih tepatnya disamping Mas Fazwan. Menggangguk menyetujuinya. Jangan bilang, kalau Mas Fazwan tadi menjadi imam shalat Mbak Anin. Aih! Kenyataan apa lagi ini. Mbak Anin mengambil seentong nasi dan piring kemudian diberikan padaku.

Ia ingin mengambil nasi lagi, namun kucegah. Tanganku memegang centong Mbak Anin. “Sudah cukup mbak.”

“Astagfirullah, Haura! Tanganmu berdarah,”
aduh. Pake acara lupa lagi kalau tanganku luka. Aku segera menyembunyikannya dibawah.
Mas Fazwan spontan menatapku dalam. Menunduk tak mau menunjukkan wajah yang susah ini. Ia berdiri dan bergantian duduk disampingku. Meraih pergelangan tangan lalu melihatnya. “Kenapa?”

“Kenapa bisa jadi begini?” lanjutnya karena tak ada balasan dariku.

“Tidak apa apa kok. Tadi kepentok meja dikit hehe.”

“Bohong!”

Bicaraku terbata bata tak bisa melanjutkan Mas Fazwan. Aku memilih diam dan menarik kembali tanganku. Mengambil ayam goreng terus memakannya tanpa memperdulikan Mas Fazwan. Ia mengembuskan nafas panjang, kembali duduk disamping Mbak Anin. Huh! Sudah menduga dari menit menit sebelumnya. Kukira Mas Fazwan akan tetap disisiku. Ternyata berpaling.

Merindu Kalam Surga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang