Tidak sedikit, segelintir orang mengatakan sesungguhnya 'Sabar itu ada batasnya.' Mereka mengutip kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi. Pernah berjuang namun tiada hasil. Sayang, kita tak cukup pandai untuk menerjemahkan sebuah kalimat. Bukankah Allah telah menegaskan.
"Hai orang-orang yang beriman! jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
(Al Baqarah:153)Ada atau tidak adanya batas sabar memang urusan pribadi masing masing. Mereka terlalu sibuk memasang patok batas sembari menangkis buah kesabaran itu sendiri. Ingatlah, ribuan kali menyangkal tak mampu menembus kasih-Nya.
Allah mencintai hambanya yang senantiasa bersabar. Tidakkah kamu mengerti juga?
-Merindu Kalam Surga
"Stt!! Haura. Nanti pulang langsung ke dokter ya?"
Bisikan halus dari Liliana terus mengudara. Membidik diriku yang fokus menatap papan tulis. Namun tak jengah, Liliana terus mengode lewat hembusan nafas. Terdengar suara parau seakan mengibarkan kekalahan akibat acuhnya aku.
"Huft, ayolah Haura. Kita pergi kesana. Ya ya ya?"
Penjelasan dosen didepan, bagai tiupan angin lalu. Aku menoleh. Memandang Liliana bengis. "Gak."
Ia meringkuk kesal seraya melempar pelan polpen. "Pokoknya nanti kesana. Titik!"
"Nggak, Liliana!" paksaku keras. Tapi sekuat tenaga memelankan irama yang keluar. Ah! Aku jadi takut kami kena pergok Pak Fazwan.
Yaps!
Pak Fazwan, suamiku yang berubah 180 derajat itu benar benar terjadwal hari ini. Tak masalah sih kalau seumpama berbuat keributan disini. Toh, Pak Fazwan sudah tau aku kan? Ah, tidak tidak! Itu bukan menjadi tolak ukur kebebasan disini. Pak Fazwan, tetap menerapkan prinsip kedisiplinannya.
"Ck, kenapa sih Haura?"
Ingin tertawa rasanya, melirik raut Liliana yang menggemaskan itu. Tapi tetap saja masih kesal akibat teriakannya tadi. Sungguh sungguh memalukan! Terlebih suamiku melihatnya juga. Aih, perihal telinga yang salah dengar sudah lama terjadi. "Kamu yang kenapa? Maksa terus. Udah ah, perhatiin tuh Pak Fazwan."
Liliana semakin kesal. Wajahnya memerah tanda amarahnya akan memuncak. Ia menjawab malas. "Dokternya ganteng. Masih muda."
"Ha?"
"Dahlah. Kalau ngga mau juga gapapa," ia memutuskan pembicaraan. Memperhatikan Pak Fazwan menjelaskan tentang analisa sejarah psikologi.
"Baik. Saya rasa cukup untuk menjelasan materi kali ini. Silakan buka halaman 345, buat kesimpulan berdasarkan metode yang saja ajar kemarin."
Pak Fazwan menyudahinya, alhasil aku yang ingin membalas Liliana. Sontak terhenti lantas bersiap untuk mematuhi Pak Fazwan. Semua mahasiswa menjawab serentak. "Iya pak."
Suasana kelas seketika hening, menikmati embanan tugas dari dosen. Begitupula Liliana yang enggan membuka mulutnya. Apakah aku keterlaluan ya? Kalau dipikir pikir, kan tadi aku marah sama Liliana gara gara teriakan mautnya. Sekarang, kenapa malah dia yang ngambek?
Waktu bergulir cepat, tapi tugas belum juga terselesaikan. Ada kebingungan didalamnya. Membuat kesimpulan berdasar metode yang pernah dijelaskan Pak Fazwan. Aih! Aku sudah lupa. Bahkan saat jam berakhir belum juga rampung. Pada momen inilah. Aku hanya bisa pasrah menanti kelembutan hati Pak Fazwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merindu Kalam Surga (END)
Fiksi UmumSarjana-sukses-bahagia Impian Haura sederhana, hanya ingin akhir bahagia dan dapat membungkam ocehan orang orang yang merendahkannya. Wanita itu punya sejuta cara untuk mewujudkan mimpi. Karena keterbatasan ekonomi, Haura kabur dari rumah tengah mal...