Aku menatap nilai-nilai di raporku. Biasa saja. Semuanya hanya berada di kisaran angka delapan. Aku memang tidak pintar belajar tapi juga tidak bodoh-bodoh banget. Ketika akan menaruh raporku ke dalam rak buku, tak sengaja kakiku menyepak sebuah kotak yang kusimpan di rak paling bawah.
Ah, iya, sudah lama sekali benda itu ada di sana. Bagaimana ya rasanya jika kulihat kembali? Apa masih sama atau aku sudah tak akan apa-apa?
Kutarik kotak berwarna merah muda itu keluar. Hanya ada sedikit debu di atasnya. Sepertinya Mbak Yuni membersihkan kamar ini dengan baik. Jika tidak, benda ini pasti sudah penuh debu, sarang laba-laba, atau yang terburuk: kotoran hewan. Hih, mengerikan.
Saat aku berjongkok dan benda itu sudah berada di ujung kakiku, rasanya tangan ini menjadi berat untuk membuka tutupnya. Dadaku bergemuruh lagi.
Aku tersenyum tipis. Padahal ini sudah hampir setahun sejak kejadian itu. Namun mungkin memang ada luka yang tidak bisa disembuhkan. Atau mungkin aku yang melambungkan harapan terlalu tinggi, sehingga tidak siap saat menerima kenyataan yang tak sesuai keinginanku.
Kumasukkan kembali benda itu dan duduk diam setelahnya. Rasa-rasanya suara musik yang mengiringi tarian yang kulakukan kala itu masih sangat segar diingatan. Fairy doll.
Sudahlah, jangan terus-terusan larut dalam kesedihan. Segera aku bergegas tidur setelah melepas alat bantu dengarku dari charger-nya.
***
Kakiku perlahan memasuki ruangan yang menjadi tempat sebuah pameran seni rupa tunggal bertajuk "Cinta dan Harapan" diadakan. Ruangan ini didominasi oleh warna putih, mulai dari lantai sampai dinding hingga ke langit-langit. Menciptakan kesan bersih dan menjadikan lukisan-lukisan yang terpajang di area dinding tampak menonjol.
Orang yang mengadakan pameran ini mengambil aliran surealisme untuk lukisan-lukisannya. Salah satu yang tertangkap indra penglihatanku adalah sebuah lukisan wajah seorang wanita yang tengah menangis, dan orang kecil yang menampung air mata tersebut dengan sebuah gelas. Air matanya begitu deras. Namun gelas kecil itu seolah muat untuk menampung semuanya. Makna yang kutangkap dari lukisan tersebut membuatku tersenyum miris. Andai aku punya seseorang yang begitu.
Aku mengalihkan perhatianku dari lukisan itu, menatap orang-orang yang berlalu-lalang. Keramaian rasanya selalu bisa membunuhku setiap waktu. Untuk kasus di sekolah atau jalanan aku sudah terbiasa. Walau kadang masih sedikit risi jika ada yang menaruh atensinya padaku. Namun aku kan orangnya tak menarik. Jadi tak akan diperhatikan sama sekali---meski akhir-akhir ini ada kejadian memalukan yang menimpaku serta seorang cowok yang terus bersikap sok akrab.
Tapi ini berbeda. Beberapa dari orang-orang ini adalah orang penting dalam bidang seni rupa. Aku memang tak mengenal mereka, tapi dapat kulihat tadi ada seorang pelukis terkenal asal Bali yang menjadi salah satu idola dari seseorang yang sangat kusayangi.
Aku berjalan kikuk sambil menunduk mencari-cari orang itu. Sampai mataku menemukan dia tengah berbincang dengan dua orang wanita. Senyum yang tampak profesional dan sikap badan yang sopan dan berkelas sekali. Ia benar-benar tampan dengan balutan tuksedo hitamnya. Padahal ia benci setelan resmi.
Sudah bisa kutebak siapa yang memaksanya mengenakan itu.
Aku jadi ragu membawa langkahku ke sana. Apalagi jika melihat seorang wanita yang kini juga menangkap kehadiranku.
"Mahda!" panggil Mahesa, dia adalah kakak kembarku.
Kutolehkan kembali kepalaku padanya. Ia tergesa-gesa untuk segera menghampiriku.
"Kamu dateng juga. Gimana, aku keren gak?" guraunya jemawa.
"Keren. Kamu kan memang selalu keren." Dan yang paling membanggakan di antara kita berdua, sambungku dalam hati.
Ia tertawa saja mendengar pengakuanku. Lalu kuberikan rangkaian bunga yang sejak tadi kubawa-bawa.
"Astaga, kamu gak perlu repot-repot."
"Apa sih. Kan wajar banget kalo aku kasi kamu bunga buat prestasi kamu ini."
Ia tertawa lagi dan menggaruk tengkuknya selepas menerima rangkaian bunga dariku.
"Selamat, ya. Aku bangga sama kamu."
"Eh, eh, apa ini? Pasti ada maunya kan ngomong begini?" godanya tak paham apa maksudku. Mau bagaimana lagi, dia tak akan mengerti semua. Apa yang terjadi padaku, bagaimana perasaanku, dan betapa inginnya aku membagi semua padanya. Padahal kan kita kembar.
"Gak kok. Aku kan cuma mengapresiasi aja."
"Mahesa!" panggil wanita yang melihatku tadi. Dia ibuku.
"Mama!"
"Kamu ngapain di sini terus? Jumpai juga pengunjung yang lain," suruhnya pada kakakku.
"Oh, iya. Nanti kita ketemu lagi, ya!" serunya, lalu menjauh. "Bye, Lit' Sis."
"Mama apa kabar?" tanyaku kaku begitu wanita itu menatapku. Rasanya benar-benar menakutkan, tapi ada bagian kecil dari diriku yang mengharapkannya. Sungguh bodoh.
"Mama baik. Kamu sebaiknya jangan terlalu lama di sini. Kakakmu kan sibuk dengan pengunjung yang hadir. Jadi jangan terlalu menyita waktunya," ucapnya memberi saran. Terdengar anggun dan penuh kepercayaan diri. Namun suara itu juga dingin jika ditujukan padaku.
Rasanya benar-benar tak nyata kalau wanita itu adalah ibuku. Orang yang dulu pernah khawatir bukan main hanya karena aku menginjak jarum kecil.
"Aku gak akan lama. Aku juga udah mau pulang. Aku titip salam buat Mahesa." Kuberikan sedikit senyum canggung di akhir kalimat, yang kemudian dibalas olehnya.
***
LIKE the chapter to give me support, and leave a COMMENT to show that you're here.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)
Teen FictionPeddie High School Series #2 Dikejar-kejar cowok urakan yang mengira dirinya bisu! Itulah yang dialami Mahda. Saat pertama kali bertemu dengan Bing, cowok bertampang berandalan yang aslinya polos banget, ia dikira bisu sebab tak menjawab saat ditany...