33. Mahda

91 12 0
                                    

Ulang tahun pernikahan orang tua Bing yang ke-18 tahun?

Aku kaget sekali waktu aku dan Bing duduk bersama di bangku dekat mesin makanan dan ia memberitahu pasal pesta itu.
Aku kaget bukan karena kenapa-kenapa, hanya sudah lama aku tak datang ke pesta. Aku cukup gugup tapi juga sangat menantikannya. Malam itu aku dijemput pukul tujuh malam. Kuakui deh, hari ini aku berdandan cukup niat. Gaun satin merah muda dengan brokat dan rok pinguin, make up dan tatanan rambut salon. Walau ini bukan kencan romantis atau sebagainya, aku ingin tampak layak di mata Bing dan keluarganya. Oke-oke, kuakui, aku tak hanya ingin tampak layak, kalau bisa aku ingin Bing menganggapku cukup cantik. Atau lebih bagus lagi memang cantik. Sangat cantik. Baiklah, aku memupuk banyak harapan sekarang. Namun aku belajar untuk tak ada salahnya berharap. Untuk punya impian. Untuk lebih percaya diri.

“Lo cantik, Princess,” bisik Bing saat kami sudah berada di ballroom hotel tempat acara diselenggarakan. Acara ini tak terlalu besar. Bing bilang orang tuanya hanya mengundang sekitar 200 orang (ya, menurut mereka 200 orang sama sekali tidak besar, bagiku sih sepuluh orang juga ramai sekali). Kebanyakan tentu saja adalah keluarga serta kenalan orang tua Bing. Yang menarik acara ini dibuat mirip dengan pesta pernikahan. Dengan pergola masuk yang penuh bunga putih cantik dan lampu kristal, pilar jalan penuh dengan lilin-lilin, dan pelaminan. Hanya minus tempat akad nikahnya saja, sebab hal itu sudah dilakukan delapan belas tahun yang lalu. Alasan orang tua Bing melakukan hal ini adalah mereka ingin mengingat kembali momen pernikahan mereka. Bagaimana rasanya menjadi pengantin yang berbahagia. Bing sempat mencibir orang tuanya yang (katanya) tak sadar umur. Namun menurutku hal ini wajar-wajar saja dan sangat manis.

“Aku masih ngerasa aneh sama panggilan ‘Princess’ itu.” Aku mengatakan ini sangat jujur. Bukannya hanya sekadar pura-pura tak enak dengan harapan semakin dipanggil ‘Princess’ dan disanjung-sanjung.

Bing tertawa. “Gue duga lo lebih nyaman dipanggil Hook, kan?”

Aku cemberut. “Iya sih.”

Ledakan tawa Bing semakin menjadi. Aku tak tahu apa yang lucu. Akhir-akhir ini Bing memang hobi tertawa. Wajahnya cerah terus. Bibirnya melengkung terus. Matanya berbinar-binar terus.

“Seharusnya lo sadar, ‘Hook’ itu bukan ejekan, ‘Hook’ itu panggilan sayang.” Bing berpikir sebentar. “Gimana kalau Princess Hook? Lebih manis karena ada Princess-nya dan lebih autentik karena ada Hook-nya.”

Aku tak bisa menyembunyikan senyum.
“Kalau gak mau Princess, gimana kalau Lady? Lady Hook?”

“Apa sih? Ngawur.”

“Saya gak bercanda, My Lady.”

“Udah ah, malu.” Aku memang malu, tapi senang.

“Ya udah, gue bakal tetap panggil lo ‘Hook’, tapi kalau sekali-kali gue mau manggil ‘Princess’ terserah gue ya.”

“Ya, ya, terserah kamu aja.”

Tak lama kemudian teman-teman Bing datang. Mereka menyapaku dengan ramah. Taslim tampak tak nyaman dengan celana panjangnya. “Celana gue kependekan. Padahal beberapa bulan lalu masih pas.” Selain celana panjang dia memakai batik yang (untung saja) tidak kependekan.

“Itu sih elo-nya aja yang ketinggian. Coba lihat gue, punya tinggi rata-rata cowok Indonesia. Sama sekali gak pernah susah buat nyari baju atau celana.” Iko memamerkan setelan tuksedo-nya yang necis. Tersenyum bangga. Sementara Joe mulai mengomentari pakaian Iko. “Lo nyewa tuksedo?”

“Iya dong. Gimana? Keren gak?” Joe hanya menggeleng-geleng. Sama seperti Taslim, Joe juga hanya memakai batik biasa.

Bing bersedekap. “Gue hargai usaha lo buat nyaingin penampilan gue malam ini. Tapi...," Bing juga memakai tuksedo. Kelihatan sangat tampan walau tak serapi Iko, “...guys, gue harap hari ini aja kalian normal,” ucapnya tak punya hati. “Ini hari penting orang tua gue, oke? Gue mau kalian gak bikin malu. Di sini banyak kenalan orang tua gue, terutama kenalan papi. Mereka orang penting. Jadi, guys, be gentleman.”

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang