26. Bing

88 16 0
                                    

“Sebentar lagi badai akan datang.”

“Gue merasakan langit akan runtuh.”

“Dan air bah pun akan---“

“Diam set*n!”

Joe yang duduk di sampingku di meja kantin menoleh cepat. “Bing... kalau lo mau nangis, nangis aja. Bahu Taslim siap jadi sandaran.”

“Iya, sini Bing.” Taslim si Galah itu menepuk-nepuk bahunya. Sementara aku diam saja. Sumpah aku tidak mengerti mengapa bisa-bisanya punya teman seperti mereka. Sedikitpun tidak membantu malah terus-terusan mengolok-olok. Apa pantat mereka akan bisulan jika memperlihatkan sedikit saja rasa prihatin. Tidak, tidak, ini salahku. Salahku dalam memilih teman. Sayang teman tidak bisa tukar tambah kalau mau dapat yang lebih baik.

“Katanya Bing sama cewek itu putus, ya?” ucap seorang perempuan dari meja  belakangku.

“Baguslah. Ceweknya cantik. Kayaknya sekarang bisa gue yang pake dia.” Suara tawa seorang laki-laki terdengar setelahnya.

“Gila lo. Bukannya cewek itu hamil ya. Entar lo dituduh bapaknya lagi.”

“Bajing*n!” Aku berbalik ke belakang. “Ngomong apa kalian barusan? Kalau mau nyari masalah datangi meja gue langsung. Ngapain ngomong di belakang kayak gini? Jelas-jelas meja kita dekat, lo sengaja kan ngomong kayak gitu?”

Seorang laki-laki menyeringai. “Kalau emang iya, kenapa?”

“Sh*t!” Aku bangkit dari kursi, tapi langsung dihentikan oleh Joe yang ada di sebelah. Iko dan Taslim pun ikut bangkit untuk menahanku.

“Tenang Bing, gue gak benar-benar mau nidurin cewek elo kok. Bercanda aja elah. Gue juga gak mau sama barang bekas.”

Sebelum aku lepas kendali Iko berkata, “Oi Nj*ng, lo emang mirip banget ya sama peliharaan tetangga gue. Suka banget ngonggong gak jelas. Ah, enggak. Sebenarnya peliharaan tetangga gue lebih baik. Dia cuma ngonggong ke orang-orang yang dia anggap mengancam. Bentuk perlindungan diri dan insting buat jagain tuannya. Elo lebih buruk sih. Ngonggong buat cari masalah yang gak perlu.”

Aku tertegun mendengar kata-kata mutiara Iko. Jika suasana hatiku sedang baik aku pasti berencana untuk mencetak kata-katanya di kertas yang bagus, memasangkan bingkai, lalu dengan baik hati memajang benda itu di kamar Iko sebagai surprise ulang tahun atau apa.

Pada akhirnya kami meninggalkan kantin begitu saja. Lalu kaget saat melihat Hook jelek tengah bersandar di dinding dekat pintu masuk.

Sial. Jangan-jangan dia mendengar kata-kata si bangs*t jelek di dalam kantin tadi? Seharusnya kupelintir bibirnya biar tahu rasa. Hook pasti sedih mendengar orang-orang membicarakannya begitu. Hook yang malang…

Malang apanya? Malang melintang.

Orang ini tidak perlu dikasihani.

“Eh, kenapa Mahda?” tanya Iko si mulut lentur dengan nada manis.

Cuih. Apa-apaan suara menjijikkannya itu. Aku ingin mengomentari nada bicaranya kemudian ingat, kalau kumarahi, Hook pasti bakal mengira aku cemburu dia diperlakukan manis oleh cowok lain.

Cuih (2). Tak akan aku biarkan dia berpikir begitu. Lagi pula aku sama sekali tidak cemburu.

Hook jelek terlihat akan mengatakan sesuatu. Mulutnya mangap lalu terkatup kembali. Mangap, lalu terkatup lagi. Mangap…

“Argh... lo mau ngomong apa sih? Kalo gak ada yang mau diomongin mending pergi deh. Gue sibuk. Gak ada waktu buat cewek kayak elo.”

Hook jelek memandangku dengan ekspresi terluka. Mulutnya mangap karena kaget dan tampak sedih. Hatinya pasti sakit karena aku berteriak padanya.

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang