34. Mahda

92 11 0
                                    

Katanya kalau tak berani keluar dari zona nyaman, kita akan terus stuck begitu terus. Sesekali kita perlu mengambil resiko. Tindakan kita menghasilkan hal yang lebih baik atau malah berakibat buruk.

Aku tidak pernah berniat bertanya pada Mama. Memikirkan mendatangi dia dan mulai bertanya membuatku mual. Yang muncul di kepalaku adalah bagaimana raut penolakannya dan kebencian di matanya. Aku hanya berani mengkhayalkan kalau mama-lah yang datang, menjelaskan kalau yang terjadi tidak seperti dugaanku, bahwa dia tak membenciku, lalu kami berpelukan. Dan menangis bersama lalu masalah selesai. Selanjutnya hubungan kami membaik. Aku, mama, dan Mahesa mungkin akan sering pergi makan bersama dan sebagainya.

Memang itu hanya khayalanku yang sering muncul sebelum tidur. Khayalan untuk menghibur diri sendiri. Namun sampai kapan aku harus mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin?

Cukup sampai sini saja.

Malam ini, aku memberanikan diri untuk mengambil resiko tersebut.

“Mama gak tau kamu bakal datang ke sini.” Mamaku meletakkan cangkir. Kami memutuskan untuk pergi ke luar ballroom dan mencari kafe hotel untuk berbicara. Tak kusangka aku akan sanggup mendatangi mama dan menggatakan ingin berbicara dengannya. Awalnya mama heran dan tampak enggan. Namun mungkin keheranannya mengapa aku bisa berada di tempat ini membuatnya rela menghabiskan waktu denganku.

Mama menatap Bing yang duduk di sebelahku. “Bing kan?”

Di bawah meja tangannya menggenggam erat tanganku. “Iya, Tante.”

“Mama gak tau kamu kenal anak Camelia.”

“Tentu aja Mama gak tau.”

Mama kaget mendengar nada sinis dalam suaraku. Begitu pula Bing dan diriku sendiri. “Mama kan memang gak tau apa pun tentangku,” ucapku begitu tenang.

“Kamu manggil Mama ke sini cuma mau bersikap kurang ajar?”

“Enggak kok,” jawabku pelan. “Aku cuma mau nanya dan memperjelas sesuatu aja.”

“Apa itu?”

“Kenapa aku diperlakukan begini dan apa aku masih dianggap anak mama?”

Mama menelan ludah, dia lantas bangkit berdiri. “Kamu mau bicara omong kosong rupanya.”

“Jangan pergi dulu. Aku gak mau kayak gini terus. Aku mau semuanya jelas. Kalau memang Mama benci banget samaku dan aku gak dianggap anak lagi, aku mau mama bilang langsung. Yang jelas. Biar aku gak perlu nerka-nerka dan berharap lagi. Aku pengin tahu dengan jelas hubungan seperti apa yang mau Mama jalin samaku. Mama juga sadar kan kita gak bisa begini terus.” Genggaman tangan Bing menguat. Dia pasti merasakan tanganku yang berubah sedingin es.

Mama duduk kembali. Ada sedikit raut terguncang dalam wajahnya. Namun itu hanya sementara. “Siapa yang sangka kamu sudah dewasa sekarang. Bisa ngomong begini tanpa ketakutan. Seperti katamu kita memang butuh bicara. Karena kamu kayaknya sudah lebih bisa menerima keadaan, Mama akan jelaskan semuanya. Mama kecewa sama kamu. Semua mimpi kamu sudah hampir tercapai, tapi apa yang kamu lakukan? Kabur dari rumah dan buat semuanya hancur.”

“Jadi karena mama kecewa makanya aku dibuang?”

Mama tampak syok dengan pemilihan kata-kataku. “Gak ada yang buang kamu. Kamu hanya harus menerima semua konsekuensi atas sikap bodoh yang kamu ambil.”

Mendadak mulutku terasa kering. Orang di depanku ini katanya seorang ibu, tapi apa yang barusan dia katakan.

“Itu artinya mama adalah ibu yang membuang anaknya yang udah gak berguna. Bukannya bantu anaknya yang sekarat Mama lebih milih lari dari tangung jawab. Aku tahu aku salah. Malam itu memang aku yang ngeyel. Aku marah banget sama Mama, makanya selama ini aku gak nyalahin siapa pun apalagi Mama. Aku selalu berpikir wajar Mama kecewa. Ini memang salahku. Aku layak mendapatkan semua ini. Tapi malam ini aku berpikir kalau semua pendapatku itu salah. Mama itu salah.”
Mama bersiap ingin membantahku. Wajahnya tampak berang.

“Mama mungkin gak terima sama pendapatku barusan. Karena yang Mama tahu, Mama adalah orang yang paling benar. Apa pun yang Mama perbuat asalkan menguntungkan untuk diri sendiri itu diperbolehkan, walau pun Mama harus berlaku curang ke orang-orang. Mama selalu bilang kalau mimpiku adalah jadi balerina terkenal. Balerina dari teater-teater terbaik dari seluruh dunia. Itu sama sekali bukan mimpiku, Ma. Aku suka balet, aku akui. Tapi kalau kupikir-pikir lagi sekarang, apa semua ambisi yang kupunya selama ini milikku? Dan jawabannya enggak. Aku gak masalah gak jadi yang terbaik. Mama-lah yang bermasalah dengan itu. Ego Mama-lah yang buat Mama gak bisa nerima kalau anak perempuan Mama gak sehebat saudara laki-lakinya. Mama cuma mau punya anak yang terbaik, terhebat, paling membanggakan, paling berprestasi. Mama gak mau nerima kekurangan anak-anak Mama, maka itu Mama gak mau aku jadi anak mama lagi.” Tanpa sadar aku mulai menangis. “Mama tau gak? Aku sering banget ngayal kalau suatu hari semuanya bakal membaik, Mama bakal peluk aku dan bilang kalau aku gak salah apa-apa. Mama gak benci aku. Mama jelasin kalau semua ini salah. Kalau Mama sayang aku sama kayak Mahesa. Tapi entah kenapa sekarang aku gak berharap kayak gitu lagi. Mungkin aku gak seharusnya ngomong gini ke ibuku sendiri, tapi... aku bersyukur dan gak menyesal sama semua yang udah terjadi. Aku bersyukur malam itu aku pergi. Kecelakan itu memang buruk banget, tapi kurasa sekarang aku bisa terima dengan lebih baik. Karena kecelakan itu aku gak terikat lagi sama Mama. Aku gak perlu nurutin semua kemauan Mama. Sekarang juga aku punya teman. Aku mulai merasa bahagia dan aku merasa benar-benar hidup. Lebih baik dibanding saat telingaku masih normal. Saat kakiku masih bisa menari. Mungkin ini hidup yang paling baik dari enam belas tahun aku hidup. Aku gak tau apa yang bakal terjadi kalau cuma jadi boneka penurut. Mungkin saat itu aku memang berhasil jadi penari utama, dan selanjutnya? Aku gak tau. Mungkin Mama harus selalu bayar anak-anak yang lebih berbakat dari aku buat mundur. Tapi, Ma... aku benar-benar minta maaf.” Kepalaku sedikit menunduk. “Gimana pun aku anak Mama dan Mama ibuku, aku benar-benar minta maaf kalau udah bikin Mama kecewa. Aku memang gak seberbakat Mahesa. Terima kasih Mama udah peduli banget samaku dulu. Mama mau ngelakuin apa pun buat aku. Sampai merendahkan harga diri Mama sendiri.” Aku menangis lagi. “Maaf aku gak bisa balas pengorbanan Mama. Aku harap Mama gak terlalu marah dan benci aku. Sama kayak aku yang juga pengin bahagia, Mama juga harus bahagia. Kalau memang peduli samaku cuma bikin Mama sakit kepala, Mama bisa terus bersikap seperti sekarang.”

Malam itu mama menangis mendengar penuturanku. Memang tidak ada pelukan. Tak ada juga kata-kata menyentuh dari mama, lalu mendadak kami memiliki hubungan yang harmonis. Mama hanya menangis sebentar lalu menghapus air matanya. Dia pergi setelah mengucapkan agar aku bahagia. Aku tak tahu apa aku dimaafkan atau tidak, apa mama menangis karena terharu atau marah. Itu hak mama untuk memaafkan atau tidak. Aku pribadi tak membencinya sama sekali. Dia ibuku. Masih banyak ibu dengan perilaku jauh lebih buruk di luar sana. Kalaupun ibuku bukan ibu terbaik atau malah ibu yang sangat buruk, kuasa saat itu pun aku tak bisa membencinya. Memang menyebalkan. Namun inilah ikatan darah. Mungkin.
Sejak itu kadang aku mengirimkan cookies dan makanan lain yang kubuat ke rumah Mama. Kadang juga aku menitipkannya pada Mahesa dan berpesan agar mereka makan bersama. Kini Mahesa pun tahu bagaimana rumitnya hubunganku dengan mama. Dia bersikeras untuk membantu agar hubungan kami kembali seperti dulu lagi. Namun aku menolak. Aku ingin semua mengalir saja. Aku akan perlahan-lahan menunjukkan kalau aku masih peduli padanya. Membayangkan kembali seperti dulu sebenarnya membuatku sedikit takut, bagaimana kalau mama kembali memaksakan kehendaknya lagi. Makanya aku ingin pelan-pelan mama mulai menerimaku dan memahamiku.

Aku mengeluarkan, telur, gula pasir, tepung protein, susu bubuk, cokelat bubuk, maizena, margarin, almond, chocochips, keju parut, dan lainnya untuk Pie Chewy Brownies yang ingin kubuat. Entahlah. Sejak membuat cokelat untuk Bing aku mulai tertarik dengan kue. Hal ini tak pernah terbayangkan sama sekali olehku. Kukira karena aku suka menulis diary aku akan cocok menjadi penulis atau apa. Namun ternyata sama sekali tidak cocok. Aku memulai menulis sebuah cerpen sederhana. Hasilnya payah dan aku pun tak menikmati prosesnya. Aku juga mencoba menulis artikel. Ini malah lebih parah lagi. Menulis buku harian dengan mengarang atau menjabarkan fakta-fakta tentang sesuatu hal untuk membuat bacaan yang menarik benar-benar sangat berbeda.

Aku sedang mengambil mangkuk saat ponselku berdering.

Jangan lupa besok.

Aku tersenyum. Bing sudah mengingatkanku berkali-kali tentang besok.

Iya, gak lupa kok.

Semoga besok benar-benar menjadi hari yang baik.

***
Sincerely,
Dark Peppermint

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang