Beberapa orang ada yang menyebutku sebagai happy virus yang kekanakan dan tidak bisa diam. Namun hari ini ketiga sohibku terus memuji kebungkamanku yang katanya bisa menyelamatkan dunia dari polusi suara. Aku tahu itu hanya akal-akalan mereka saja sebab bahagia melihatku sengsara. Sebelum-sebelumnya juga aku pernah diam begini kok, tapi tak pernah dihiraukan sama sekali.
"Eh Bing, Mahda nge-chat nih."
"Mana?" Aku lekas bangkit dan menyibak selimut yang membungkus tubuhku sejak tadi.
Tapi hanya suara gelak Taslim dan dua kampret lain yang kudengar sementara ponselku masih adem ayem saja di atas nakas.
"Lo gerak lambat banget sih coy, kan keduluan sama yang udah pro urusan beginian," ceroros Iko menghakimi.
Aku kembali menarik selimut dan berbaring membelakangi mereka.
"Udah lo jadi orang ketiga aja Bing dalam hubungan mereka. Terus rebut si Mahda layaknya pebinor di luaran sana," cetus Taslim mengutarakan pemikiran tak bergunanya.
Selimut semakin kutarik ke atas menutupi wajahku, malas mendengar ocehan mereka tapi rasanya jengkel juga. Mereka berujar seolah aku patah hati ditinggal si Hook. "Gue gak suka sama Hook ya! Jangan ngomong sembarangan."
"Terus lo yang selimutan terus dari pulang sekolah itu apa? Ganti baju juga belom. Tingkah lo udah kayak orang depresi yang pengen gantung diri tau gak." Setelah sekian lama bungkam, akhirnya Joe mengeluarkan kata-kata yang sama tidak berfaedahnya dengan yang lain. Kami kan sudah berbaikan, jadi kini dia ikut lagi dalam penjajahan para Goblok di kamar tercintaku ini.
"Terus aja sangkal Bing. Orang-orang yang gak mau ngakuin perasaannya kayak lo gini nih yang bakal menderita terus-terusan. Terus diem sampe kakek-nenek. Si Mahda udah beranak cucu, lo masih bujang. Bujang lapuk tapinya." Itu suara Joe lagi. Dia memang yang paling sok bijak. Pakai mendoakan aku jadi bujang lapuk segala. Aku kan memang tak ada perasaan dengan Hook.
Atau mungkin ada? Argh, entahlah. Maksudku, dia kan sama sekali bukan tipe idealku. Oke-oke, selama ini aku memang tidak ada bikin kriteria khusus untuk cewek yang akan jadi pacarku. Tapi diam-diam, tanpa kusadari aku punya keinginan kalau pacarku nanti adalah gadis cantik, manis, penuh kelembutan, kulitnya halus dan mulus, kalem, tinggi semampai, dan seksi bro.
Apa? Apa? Mau menghujat? Aku kan juga cowok remaja yang suka cewek seksi. Aku ini seratus persen normal. Dan aku tahu kalau aku bisa---bahkan sangat bisa---untuk dapat yang begitu. Jadi mana mungkin aku suka cewek pendek berambut sangkar burung semacam si Hook.
Atau mungkin?
Gila. Ini bikin aku frustrasi sendiri. Kutendang selimutku asal dan mengambil ponsel di atas nakas, membukanya dan menemukan kehampaan. Sepertinya aku harus segera menghapus wallpaper ponselku. Di sana terpajang fotoku dan Hook seusai kami menonton pertunjukan balet.
![](https://img.wattpad.com/cover/284678095-288-k374139.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)
Novela JuvenilPeddie High School Series #2 Dikejar-kejar cowok urakan yang mengira dirinya bisu! Itulah yang dialami Mahda. Saat pertama kali bertemu dengan Bing, cowok bertampang berandalan yang aslinya polos banget, ia dikira bisu sebab tak menjawab saat ditany...