28. Mahda

85 16 0
                                    

Aku keluar kamar mandi dan kepalaku menabrak sesuatu yang keras. Jelas-jelas tadi aku baru membuka pintu bilik, masa ia langsung menabrak tembok. Kuusap-usap kepalaku sambil mendengarkan permintaan maaf seseorang. Sekarang kuasumsikan bahwa yang kutabrak tadi bukanlah tembok kamar mandi yang mendadak berpindah tempat, melainkan bahu seorang gadis bongsor yang mirip raksasa. Saat aku menengadah ke atas kulihat raut mukanya yang keruh. Dia mengkhawatirkan kondisiku.

"Lo gak apa-apa kan?" Dia memegangi kepalaku dan meraba-raba dengan berlebihan. "Jawab dong. Lo gak mendadak tuli karena nabrak tulang selangka gue kan?"

Dia berlebihan sekali. Mungkin dia sadar betapa keras tubuhnya sampai-sampai mengira saat ini aku tengah sekarat. Omong-omong tentang tuli, tanpa menabraknya pun aku sudah tuli.

"Oke, aku oke kok." Dia lega sekali mendengar jawabanku. Dan setelahnya barulah aku sadar bahwa ada dua pasang mata lain yang sedang menatapku dengan penuh minat dan rasa ingin tahu.

"Kayaknya korban Shella kali ini familier deh." Seorang gadis berambut lurus menyodorkan wajah kakunya padaku. Aku agak gelagapan sebab kedekatan yang tiba-tiba itu.

"Dia yang kita injak-injak waktu itu bukan sih," ucap seorang gadis berkuncir dua.

Gadis berambut lurus menjauhkan wajahnya. "Ah, iya. Dia yang kita injak-injak karena mau ngambilin bola buat Kak Dean. Atau lebih tepatnya kalian injak-injak."

Ah, iya. Aku ingat mereka. Para tapak gajah yang membuat tubuhku ngilu sampai sekarang jika mengingat kejadian itu.

"Kayaknya kita terus nyakitin anak ini ya. Padahal badannya kecil gini." Si kuncir dua melihatku dengan prihatin. "Benar gak apa-apa? Mahda, kan?"

Kujawab dengan anggukan. "Gak apa-apa kok."

"Bentar." Kini gantian gadis bongsor yang wajahnya close up di depanku. Aku mundur sebab tak nyaman dan dia langsung berseru, "Elo nangis?"

"Ah, iya, dia nangis."

"Matanya sembab banget."

"Pasti nangis lah kan dia nabrak batu tebing. Pasti sakit banget."

"Apa-apan lo nyebut bahu gue sebagai batu tebing."

"Habis anak orang sampai nangis gitu."

Aku tidak lagi tahu siapa-siapa saja yang berbicara. Mereka langsung asyik beradu mulut satu sama lain.

"Eh, anu... Aku pergi dulu---"

"Pergi apanya!" sentak mereka bersamaan dengan wajah yang semuanya close up di depanku. Bahkan kurasakan ada semburan air liur yang cukup dahsyat. Entah milik siapa. Tak penting pula dicari tahu.

"Lo gak bisa pergi gitu aja." Si rambut lurus mengucapkan kalimat ini seperti ingin menyerbu gerombolan preman, kasar dan mirip perintah yang harus dipatuhi. Sekonyong-konyong aku langsung mengangguk begitu saja. Kemudian di sinilah aku berada. Duduk bersama mereka di sebuah gazebo di halaman depan gedung sekolah.

"Aku benar-benar gak apa-apa..."

Sedang apa sih aku di sini? Kebodohanku ini membuatku meringis.

Si bongsor memotong, "Terus kenapa nangis?"

"Itu..." Tak mungkin kan aku mendadak curhat pada orang-orang ini. Meski kelihatannya mereka anak-anak yang baik, mana bisa aku melakukan hal begitu.

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang