Aku sudah lama tidak memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayaku selain Mahesa. Maka dari itu saat sadar telah membuat kesalahan aku mencoba meminta maaf pada Bing. Juga Mahesa karena sudah marah-marah padanya kala itu. Aku sengaja membuatkan mereka cokelat spesial tanda permintaan maaf. Jujur saja aku tak pernah membuatnya. Membuat cokelat sendiri merupakan tantangan yang cukup besar bagiku. Apalagi tak ada yang bisa mengajari. Hanya bermodal sebuah video dari Youtube.
Dari jauh aku sudah melihat Bing. Mahesa pamit setelah mengucapkan terima kasih atas cokelat yang kuberikan. Dengan sengaja aku menunggu Bing yang di tangannya terdapat cokelat buatanku. Aku tak tahu dia akan merespons bagaimana. Yang bisa kulakukan hanya berharap agar semua kembali seperti semula. Seperti dugaanku Bing memang sengaja mendatangiku. Kini dia berdiri di depanku. Wajahnya tampak tak senang sama sekali. Dan harapan yang awalnya membuncah dalam dadaku perlahan-lahan padam. Lalu menjadi tak bersisa saat ia mengatakan, “Lo gak perlu ngasi gue benda kayak gini.” Tangannya terangkat mengacungkan cokelat dariku. “Gue sama sekali gak butuh. Jadi lo ambil aja.” Dia menyerahkan benda tersebut dengan tidak sopan padaku.
Ketika Bing berlalu pergi aku bersuara, “Gak bisa kamu ambil aja.” Aku berbalik. Dan dia sedang berdiri diam membelakangiku. “Gak apa-apa kalau aku belum dimaafin, tapi---“
“Ambil atau gue buang cokelatnya.”
Lalu dia benar-benar pergi.
Aku benar-benar tak tahu dia akan semarah ini gara-gara aku berpura-pura tak bisa berbicara. Kebohongan yang menurutku bukan apa-apa ternyata masalah besar bagi seseorang.
Seharian ini benar-benar terasa seperti neraka. Gosip aneh belum juga mereda. Setiap jam istirahat selalu kuhabiskan di tempat biasa. Namun sebuah keinginan membuat hari-hari nerakaku menjadi tambah buruk. Aku ingin menangis. Rasanya sungguh melelahkan hidup seperti ini. Aku selalu bersembunyi. Aku selalu menghindari orang-orang dan masalah. Aku selalu sendirian. Tapi kenapa sekarang malah begini.
Guru di mata pelajaran terakhir tidak datang. Aku pun menggunakan kesempatan ini untuk pergi ke toilet. Aku masuk ke salah satu bilik dan duduk di sana. Lama ditahan kini air mata itu mengalir begitu saja.
***
Hari itu adalah bulan Desember dua tahun yang lalu.
Sejak umur tiga tahun aku sudah diperkenalkan dengan banyak hal oleh ibuku. Piano, biola, melukis, hingga balet. Dari semua itu aku memilih balet untuk ditekuni. Ibuku mendukung sepenuh hati. Bahkan menurutku agak berlebihan.
Setiap akan diadakan pementasan ibuku menjadi sangat disiplin. Entah aku harus bersyukur atau tidak dengan hal ini. Di satu sisi dia memastikan aku melakukan yang terbaik, di sisi lain aku merasa tersiksa.
Aku mencintai balet, makanya aku menikmati saat melakukannya. Namun balet terasa menyiksa saat ibuku mulai ikut campur. Dia wanita yang ambisius. Dan ambisinya juga tertanam ke putra dan putrinya. Tanpa kuminta dia menetapkan target yang besar untuk kucapai. Dia mengibarkan bendera tinggi-tinggi untuk kuraih jika ingin dianggap sebagai pemenang. Dia hampir tak pernah puas dengan yang kudapatkan. Terutama dengan semua peran yang kudapatkan setiap ada pementasan. Aku tak pernah menjadi yang pertama. Nomor satu hanya milik seseorang. Josephine. Dia gadis penuh talenta dan memesona. Semua orang di akademi balet kami menyukainya. Semua pelatih mengandalkannya. Teman-teman yang lain pun ingin dekat dan menjadi teman baiknya. Termasuk pula aku. Aku selalu ingin dekat dengan bintang akademi kami. Bintang yang bersinar paling terang di setiap pementasan. Sang tokoh utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)
Teen FictionPeddie High School Series #2 Dikejar-kejar cowok urakan yang mengira dirinya bisu! Itulah yang dialami Mahda. Saat pertama kali bertemu dengan Bing, cowok bertampang berandalan yang aslinya polos banget, ia dikira bisu sebab tak menjawab saat ditany...