25. Mahda

82 16 0
                                    

"Dia cowok itu kan?"

Aku tak menjawab kata-kata Mahesa.

"Kenapa dia marah-marah sama kamu?"

Aku masih tak juga menjawab.

"Apa maksudnya bisu-bisu itu? Siapa yang bisu? Dia ngarep adek gue bisu?"

Ah, kenapa tanya-tanya terus sih.

Aku berbalik dan berjalan meninggalkan Mahesa. Sekarang harus bagaimana. Dulu memang aku berharap dia pergi jauh dariku. Tak usah lagi pernah bertemu dengannya. Namun anehnya sekarang berbeda. Aku tak ingin dia pergi. Aku masih ingin diganggu terus olehnya.

"Mahda!" seru Mahesa yang berlari mengejarku. "Jawab dong, Da. Kamu selalu kayak gini. Apa-apa dipendam sendiri. Kalau ada masalah itu cerita dong. Kamu harus mulai belajar berbagi sama orang lain."

"Kenapa kamu baru ngomong itu sekarang." Aku sontak berhenti mendengar kata-katanya. Aku menunggu untuk bicara padanya sudah sejak lama, tapi tak pernah sekalipun dia punya waktu untuk mendengarkan.

"Apa karena sekarang kamu udah gak sibuk sama lukisan-lukisanmu itu. Ah, sang genius kan lagi rehat sejenak dari kehidupan suksesnya, pasti sekarang punya banyak waktu senggang untuk ngurusin hidup gak guna orang lain."

"Mahda!" teriak Mahesa kencang. Itu mengagetkanku dan membuatku sadar kalau kata-kataku sudah keterlaluan. Tapi bukannya minta maaf, aku malah bertambah kesal.

"Kenapa jadi bawa-bawa itu. Kamu jadi aneh ya sekarang."

"Aneh?"

Iya, benar. Aku memang cewek cacat yang aneh. Mana bisa dibandingkan dengan anak emas sepertinya.

"Baru tau kamu punya saudara kembar yang aneh? Baguslah kalau sekarang kamu sadar." Aku pergi meninggalkannya. "Sekarang kamu gak perlu sok-sok baik lagi sama orang aneh."

Padahal aku tak ingin mengatakannya. Itu sangat jahat. Aku jadi anak yang semakin buruk dengan kata-kata seperti itu, tapi kenapa aku tak bisa menghentikan diri sendiri. Rasanya aku ingin mengeluarkan lebih banyak lagi kata-kata yang lebih buruk. Ada perasaan menyesakkan yang mendesak, dan aku tak mengerti sama sekali ini apa.

Aku berjalan semakin jauh meninggalkan Mahesa. Kalau tetap di dekatnya desakan itu pasti tidak bisa kubendung lagi. Dia mungkin akan semakin membenciku.

Hari ini rasanya begitu sunyi. Biasanya akan banyak SPAM chat kalau aku tak menghubungi Bing untuk hal-hal yang sepele. Dan tidak ada pula orang yang menungguku sepulang sekolah.

Di rumah pun sama sunyinya. Anehnya selain sunyi hari ini juga terasa dingin.

"Kenapa di rumah ini gak ada suara sih." Aku menuruni tangga dengan langkah-langkah lambat. Menghitung anak-anak tangga seperti ini sudah sangat sering kulakukan dulu jika sedang bosan. Tapi akhir-akhir ini aku jarang bosan, bahkan mungkin sudah tak pernah bosan lagi.

Biasanya di chat akan ada orang yang heboh dengan hal-hal yang tidak penting. Biasanya kalau pun tidak sedang berbalas pesan dengannya, aku akan mengingat-ingat apa yang terjadi hari ini di sekolah.

Ah, iya, ya... Akhir-akhir ini aku tidak benci sekolah. Bahkan tanpa kusadari aku mulai menunggu-nunggunya. Aku mulai bersemangat bangun pagi, mengganti pakaian, bersiap-siap dengan gesit dan terkadang aku tersenyum memikirkan apa yang menungguku. Ada pula perasaan tak sabar yang menggelayuti tubuhku di perjalanan menuju sekolah, dan terhenti ketika dia dengan heboh berteriak memanggil namaku di koridor.

Aku masuk ke dapur dan mengeluarkan ponsel dari saku. Begitu memencet tombol power, layar terbuka dan menampilkan ruang chat. Sejak tadi aku sudah mengetik berbagai kata untuk kukirim ke Bing. Tapi tak satu pun rasanya ada yang pas. Lagi pula aku takut. Sangat takut. Katanya Bing tak mau bertemu lagi denganku. Mungkin aku akan mengganggunya dengan pesanku, mungkin dia akan semakin membenciku.

Aku tidak ingin dia membenciku.

***

"Eh, Mahda," ucap Dewi saat aku tiba di depan pintu kelas. "Bagian lo udah kelar kan? Ingat kita presentasi hari ini."

"Hari ini? Bukannya nanti bakal diundi dulu siapa yang presentasi pertama."

Sandra menjawab, "Ya, iya. Diundi dan bisa aja kita yang tampil pertama." Wajah gadis itu berubah galak dan menyeramkan. "Udah kelar kan bagian lo?"

"Udah, udah," cicitku mengkerut melihatnya.

Dewi menjawil bahuku. "Eh, Da, pacar lo tuh." Kepalanya bergerak menunjuk ke empat orang cowok yang berjalan di koridor. Tampak berkuasa dan menyeramkan. Kulihat tak seorang pun yang berani berjalan di samping mereka berempat. Anak-anak lain refleks merapat ke dinding dan membiarkan mereka lewat terlebih dahulu. Apalagi yang paling tengah. Cowok tengil itu kelihatan berbeda pagi ini. Tidak ada senyum semringah yang menghiasi wajahnya, tidak ada sifat riangnya yang biasa, tidak ada kerusuhan yang dia buat pagi ini. Kebisingan suaranya yang sangat keras memanggil namaku pun tidak ada.

Saat mereka lewat di depanku tanpa sadar aku menahan napas. Joe, Taslim, dan Iko menyempatkan diri untuk tersenyum padaku. Ketika netraku berpindah pada Bing, secepat kilat ia langsung melengos.

"Sombong amat lo Bing," komentar Taslim.

"Bacot," balasnya serupa geraman.

Dia marah.

"Ada apa ini?" Suara Sandra terdengar heboh sekali. "Kalian berantem? Kok Bing kayak mau makan orang gitu?"

"Iya, benar," Dewi menyahut. "Biasanya dia kayak anak autis lari-lari sambil teriak 'Hook' di sepanjang koridor buat datangi elo, kok sekarang kayak gitu."

"He'em. Bing yang biasanya jingkrak-jingkrak itu. Aneh banget dia anteng dan cuek banget sama lo."

"Tapi kayaknya Bing gak tidur deh, liat kan tadi kantong matanya."

"Gue liat. Padahal kulit Bing kan bagus. Pasti rasanya kayak kulit bayi. Iya kan, Mahda?"

"Nampaknya sih begitu, tapi masa sih kulit cowok bakal sehalus itu."

Sebenarnya mereka mengajakku bicara tidak sih. Nanya-nanya mulu tapi tidak memberi kesempatan untuk menjawab. Alhasil aku melipir dan masuk ke dalam kelas tanpa sepengetahuan mereka.

Begitu masuk, kurasakan seluruh tatapan mata anak-anak mengarah padaku. Aku sontak menunduk dan berjalan ke mejaku.

"Hihihi, udah gue duga dia bakal dibuang."

"Cowok bengal gitu gak mungkin serius sama cewek. Paling cuma mau enaknya doang."

"Habis manis sepah dibuang."

"Sekarang tau rasa dia."

"Tapi kasihan gak sih. Anaknya polos gitu."

"Gak mungkin polos lagi kalau udah kayak gitu."

Dulu rasanya aku akan baik-baik saja walau mendengar kata-kata menyebalkan ini, tapi sekarang aku sadar, aku sudah balik seorang diri. Sekolah kembali menjadi neraka.

***

Sincerely,

Dark Peppermint

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang