30. Mahda

95 14 0
                                    

Aku baru saja keluar dari kelas saat kulihat segerombolan cewek di lorong.

“Oh, Mahda,” sapa Shella sembari melambaikan tangan. Lalu sejurus kemudian gerombolan itu telah menyeretku dalam arus perjalanan mereka. Erika menyampirkan lengannya ke sekeliling bahuku. Shella terus mengoceh, sementara Milli diam menyimak semuanya sembari melipat lengan di depan dada.

Sejak mereka datang ke rumahku bisa dibilang kami semakin akrab, dan aku, ekhem, juga mulai suka drama Korea. Jangan salahkan aku. Salahkan dramanya. Kenapa harus seseru itu. Dan malam itu pun kami habiskan dengan bercerita banyak hal. Entah karena suasana keakraban yang terus terbangun dan sedang bagus-bagusnya, atau sebab hari yang semakin larut dan santai, aku bercerita banyak hal pada mereka. Terlalu banyak hal. Sampai mereka sangat mengenal Bing melalui ceritaku.

“Kisah kalian manis banget,” komentar Shella kegirangan sambil memukul bahu Milli dengan bantal. Milli yang dipukuli tetap cool tapi di pukulan kelima dia balas memukul Shella tak kalah beringas.

“Sayang banget hubungan kalian harus rusak karena masalah sepele,” cetus Milli selesai mengamuk. “Memang bagi sebagian orang kebohongan walau kecil terasa sulit buat dimaafkan. Tapi kalau dia benar-benar nganggap lo penting, dia pasti bakal maafin kok. Lagian kayaknya cowok itu tergila-gila banget sama elo.”

“Ah, apa sih.” Aku menutupi pipiku yang terasa panas. “Dia gak mungkin tergila-gila sama aku.” Aku merendah, tapi kurasa bibirku berkhianat dan membentuk senyuman.

“Kalau mau merendah seenggaknya pasang tampang sedih dong. Apa-apaan senyum lo itu.” Erika menggeleng-geleng melihatku.

Begitulah. Mendadak ada segerombolan cewek yang mengetahui hubunganku dengan Bing. Awalnya aku sangat menyesal telah memberitahu mereka. Bisa saja setelahnya mereka akan menyebarkan pada orang-orang dan bergosip membicarakanku, tapi sepertinya mereka cukup bisa dipercaya. Tak ada tanda-tanda mereka menyebarkan cerita itu. Bahkan bisa dibilang orang-orang sudah mulai bosan bergosip mengenai diriku. Aku mulai dilupakan dan kembali hidup seperti sebelumnya---minus sekarang aku punya ketiga orang ini yang terus menyertakanku ke mana-mana.

Dan yang membuatku semakin yakin pada mereka bertiga, mereka tak percaya dengan gosip buruk antara aku dan Bing.

“Itu gak masuk akal," ucap Erika. “Kalau benar seharusnya elo udah gak sekolah lagi. Bukannya kasus ini udah sampai ke ruang BP, tapi nyatanya elo selamat dari sana.”

“Bagi sebagian orang gosip busuk lebih menarik buat diulang-ulang daripada mengumumkan klarifikasinya. Walau mereka tau dan sadar semuanya bohong, lebih menyenangkan untuk terus menjelek-jelekkan orang itu.” Itu pendapat bijak dari Milli yang tampak malas-malasan.

“Apa lagi bagi penggemar Bing. Lo tahu kan sebelumnya cukup banyak anak cewek yang suka dia. Bagi mereka lebih baik jelek-jelekin elo dan cowok yang udah bikin mereka patah hati ketimbang memahami kesulitan kalian.”

Hampir saja saat itu aku menitikkan air mata dan berterima kasih sudah memercayaiku sambil berlinang ingus.

“Oh, itu bukannya Bing," seru Erika di samping telingaku.

Aku mengikuti arah jarinya yang menunjuk suatu titik di lapangan sepak bola.

“HOOK, LO DI MANA?”

“Wah, apa itu pertanda baik?” tanya Shella.

Milli menyipitkan mata melihat ke lapangan. “Kita baru tahu itu pertanda baik atau enggak setelah cowok itu sendiri yang datang dan jelasin apa maksud teriakan ala Tarzan-nya.”

“Kalau gitu...,” aku menoleh pada Erika saat mendengar nada mencurigakan dari suaranya, gadis itu tersenyum penuh muslihat dan memandangi kami satu per satu, “mungkin pertemuan ini harus dibuat agak dramatis.”

“Apa?” tanyaku tak mengerti. Namun berikutnya aku sudah diseret mereka bertiga. Sambil berjalan berlawanan arah menjauhi Bing yang seperti orang gila di lapangan. Mereka bertiga mencetuskan berbagai macam rencana gila yang membuat kepalaku pening. Hingga mereka setuju akan suatu kesepakatan.

“Gimana?” ucap Erika.

“Setuju,” sahut Shella girang.

“Ya... cukup seru kayaknya,” sahut Milli malas-malasan, tapi aku melihat sedikit kilat semangat dalam matanya.

“Kayaknya ini rencana aneh dan gak penting.”

“Lo mau dimaafin enggak?” Shella menaik-naikkan alisnya menggodaku.

“Mau,” aku mencicit.

Erika menyahut dengan lantang, “Dengan rencana dramatis ini dia bakal ngelupain amarahnya ke elo, dan percayalah, cowok itu super-duper care banget sama lo, Mahda.”

“Oke.”

Mungkin tak seharusnya aku menjawab oke pada rencana gila itu.

“Oke, jadi lo meringkuk di sudut gelap gudang ini dengan menyedihkan. Kalau lo bisa berakting nangis sambil ketakutan itu lebih bagus lagi. Kalau enggak pun gak apa-apa.” Erika menjelaskan tipu-muslihat ini dengan penuh percaya diri. “Sementara itu pintu gudang bakal kami kunci, jadi kalau dia mau masuk dia bisa naik dari jendela.”

“Bing gak suka dibohongi.”

“Lo gak perlu bohong,” jawab Milli. “Ceritakan semuanya pas dia udah datang. Bilang kami maksa elo, yang gak bisa nolak ajakan orang lain ini, buat pura-pura terkunci di gudang biar kalian punya waktu berdua buat cerita.”

“Kayaknya Bing tadi nyari aku buat cerita.”

“Belum tentu,” jawab Milli. “Gak ada jaminan juga gak bakal ada yang ganggu. Di sini kalian gak akan bisa keluar sebelum semua masalah beres. Sebelum lo nyeritain semuanya dan kalian berbaikan. Jendela juga bakal kami tutup begitu dia masuk. Kalau udah selesai pintu bakal kami buka.” Kukira Milli adalah yang paling normal dari mereka bertiga. Ternyata dia sama atau mungkin lebih gila lagi.

“Ini rencana yang rentan.”

Dan gila. Dan konyol. Kan bisa berbicara normal-normal saja. Tapi nyatanya selama ini tak ada satu pun pembicaraan normal yang terjadi. Malah dia selalu pergi sebelum aku sempat menjelaskan sesuatu. Mungkin mengurungnya di sini bagus juga. Kalau setelah kujelaskan dia masih marah dan tak mau paham juga, aku akan menerimanya. Setidaknya aku sudah memberi penjelasan dan tentunya meminta maaf juga.

Beberapa menit selanjutnya aku ditinggalkan sendirian di gudang dengan pintu terkunci. Aku duduk sendirian di sudut gelap, dan tanpa berpura-pura, mulai merasa takut. Setelah cukup lama aku membenamkan diri di atas lututku yang tertekuk, aku mulai mendengar suara gaduh.

“Hook, ya Tuhan, Hook, lo di dalam?” Pintu digedor-gedor. Lalu sesuai perkiraan Erika, cowok itu memanjat jendela yang relatif tinggi lalu mendarat dengan dramatis di lantai. Dia berlari tergopoh-gopoh sambil merentangangkan tangan.

“Hook...”

Ya Tuhan...

***

Sincerely,

Dark Peppermint

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang