“Bing itu pohon!” Seseorang menarikku paksa bagai seekor sapi. Aku melihat ke samping, ke tempat di mana tadi kakiku melangkah. Ah, benar, ternyata di depan itu pohon.
Sejak kapan? Padahal jelas-jelas tadi tak ada di sana.
“Itu pasti bukan pohon. Paling cuma orang nge-prank. Buka deh kostumnya pasti orang dalamnya.”
“Bing, lo sakit,” ringis Taslim sembari menggelang.
Iko ikut menambahi, “Orang sakti mana yang pake kostum pohon setinggi dua puluh meter.”
“Payah emang kalau kejiwaan yang sakit gini,” omel Joe sambil berdecak malas melihatku. “Hari ini dia nabrak orang, tong sampah, lemari, pohon, Pak Ansor pun diseruduk sama dia. Besok-besok entah apa lagi yang ditabrak.”
“Dilihat dari kondisinya dia gak akan bisa bertahan sampai akhir minggu in---Bing itu kawat besi lo gak bisa lewat situ tol*l.” Iko menarikku. “Ah, capek banget gue narik-narik dia mulu. Kalian semua gak ada yang punya tali. Kayaknya gedung lama itu bagus juga buat ngurung anak sapi.”
Aku melirik mereka malas dan berjalan gontai. Akhir-akhir ini pembantu di rumah kami pasti melakukan kecerobohan. Semua makanan di rumah kami sudah rusak kandungan gizinya. Bagaimana bisa aku makan sampai lima piring sehari tapi tetap tak bertenaga. Seharusnya mereka melupakan pemakaian freezer atau lemari es. Benda itu hanya merusak kandungan dalam bahan makanan. Kalau makanan jadi tak bergizi kan aku juga yang repot. Berjalan pun aku jadi susuah begini.
Mendadak aku menghentikan langkahku. Sedetik lalu kukira aku akan pingsan. Tapi sekarang tidak bisa. Mana boleh aku terjatuh menyedihkan di rerumputan sementara pacar baru Hook sedang haha-hihi dengan seorang gadis.
“Ah, itu Kak Clarissa,” ucap Iko. “Masih cakep banget aja ya. Katanya dia udah punya pacar sekarang.”
*Taslim menyahut, “Oh, tau gue. Katanya dia bilang suka ke cowok yang satu klub sama dia.”
“Dia gak cuma bilang suka, tapi dia nembak cowok itu langsung di sana. Di depan semua anggota klub. Dia cewek tangguh banget”*
(*percakapan ini sudah dilebih-lebihkan karena gosip selalu bertambah atau berkurang dari mulut ke mulut)
“Lebih cakep Kak Nami,” sela Joe. “Dia tipe cewek manis gitu. Gue gak suka yang dikit-dikit nyalak.”
“Apa lo bilang?” Iko memegangi kerah Joe tidak terima. “Enak aja lo nyebut suara merdu Kak Clarissa sebagai salakan.”
“Gue sebarin hal ini ke penggemar Kak Clarissa bisa gepeng lo, Joe.” Taslim pun tersulut emosi. Aku pun tersulut emosi. Padahal dia sudah punya pacar tapi masih sempat-sempatnya pedekate sama kakak kelas yang juga sudah punya pacar. Cih, dunia sudah sebobrok ini ternyata.
Aku tersenyum saat kakak kelas itu meninggalkan si cowok bertopi dengan bersungut-sungut. Dia memanggil-manggil gadis itu yang sama sekali tak menoleh lagi.
Hook jelek tol*l. Pacarnya tak pernah ada yang benar. Kalau saja aku yang dia pac---tidak. Jangan lagi. Kumohon berhenti memikirkannya. Ayolah.
“Oh, lo Bing, kan?”
Aku mengerjap. Lalu toleh kiri dan kanan. Mungkin ada orang lain yang bernama Bing. Tapi mana mungkin. Namaku yang keren itu sama sekali tak pasaran. Jadi aku menatap pada pemuda itu seraya menunjuk diri sendiri. “Lo ngomong sama gue?” tukasku dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)
Teen FictionPeddie High School Series #2 Dikejar-kejar cowok urakan yang mengira dirinya bisu! Itulah yang dialami Mahda. Saat pertama kali bertemu dengan Bing, cowok bertampang berandalan yang aslinya polos banget, ia dikira bisu sebab tak menjawab saat ditany...