31. Mahda

94 14 0
                                    

"Hook...!!!"

Ya Tuhan... Apa yang sudah kulakukan pada cowok baik dan polos itu. Dia begitu khawatir padaku, tapi aku menipunya untuk datang ke sini. Aku benar-benar hina. Kotor dan jahat sekali.

Mendadak seluruh tubuhku dilingkupi olehnya. Tubuhnya sangat besar sehingga aku seperti benar-benar menghilang di dalam pelukannya.

"Ya Tuhan, Hook, lo pasti ketakutan banget kan? Kok ada iblis yang tega ngurung makhluk kecil kek elo gini di gudang. Mereka gak berperasaan." Bing terus mengoceh. Dan aku... Aku... Aku pun mulai terisak.

Kenapa dia baik sekali?

Kenapa dia peduli sekali?

Kenapa pelukannya harus hangat sekali?

Bing melonggarkan pelukannya dan menghapus air mataku dengan jemarinya yang bergerak lembut, perlahan.

"Lo pasti takut baget kan di sini? Tenang aja. Sekarang ada gue, lo gak perlu takut lagi. Udah, udah, jangan nangis lagi." Bing kembali menempelkan wajahku ke dadanya. Sambil tangannya dengan lembut mengusap-usap punggungku. "Gak ada apa-apa kok di sini. Hantu juga gak ada. Cuma ada gue."

Mendadak air mataku berhenti. Ada dua hal yang mengganggu dari kata-kata Bing. Pertama: dia salah paham lagi kalau aku menangis karena takut hantu atau gelap atau apalah. Padahal aku menangis karena terharu dengan sikapnya. Kedua: di sini cuma ada kami. Ya, aku dan dia. Berdua. Di ruangan tertutup, gelap, tanpa ada orang berakal sehat yang bisa mencegah dua anak manusia berbeda jenis dari hal-hal tidak pantas.

Dan... Aku pun melepaskan pelukan Bing. Wajahku memerah. Jantungku berdebar menyadari situasi rentan ini. Lalu... Kutampar wajahku agar segera sadar.

"Eh!" pekik Bing kaget, lalu dengan cemas memeriksa bekas tamparan di pipi kananku. "Lo ngapain? Segitu senang dan gak nyangkanya elo sama kehadiran gue di sini? Ini beneran gue, Hook! Gue nyata bukan cuma khayalan lo aja. Kalau lo emang sesering itu mengkhayalkan gue sampai gak bisa bedain kenyataan, nih pegang." Cowok tidak peka itu menggenggam tanganku. "Anget, kan? Atau nih." Semakin tidak tahu malu, ia menempelkan tanganku ke wajahnya, mengusap-usap pipinya yang sangat dekat denganku.

Buru-buru kutarik tanganku dan menunduk. Skinship bukan gagasan yang bagus untuk menjaga kesehatan jantung. Apalagi jika gagasan itu baru muncul di tempat seperti ini.

"Sekarang lo percaya kan gue nyata. Apa perlu gue peluk lagi?" Bing merentangkan tangan.

"Enggak!" jeritku sambil menutup mata dan mengangkat tangan. Tidak ada pelukan lagi.

"Jadi udah percaya?"

Aku mengangguk dan menjawab lirih, "Iya." Tanpa menatapnya.

"Kok buang muka sih?" Dia menarik daguku dengan telunjuknya ke atas. "Lo gak suka ngeliat gue?"

"Mana mungkin," jawabku cepat. Dan kulihat dia tersenyum puas dengan jawaban yang terlampau cepat dan keras itu. Aku semakin tak keruan dengan senyumnya itu.

Ukh, ini pasti akibat drama yang kutonton akhir-akhir ini. Di benakku mendadak muncul banyak adegan romantis yang membuat kami jejeritan saat menontonnya.

"Udah gue duga lo pasti senang banget ngeliat gue."

Aku meliriknya malu-malu. "Kok kamu sekarang jadi pede banget sih?"

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang