35. Mahda

260 23 1
                                    

Aku berjalan menuruni tangga. Menghitungnya satu per satu. Namun kali ini bukan karena bosan. Aku ingin mengingat setiap momen, setiap langkah, dan mengenang semua waktu yang berlalu. Di anak tangga terakhir aku tersenyum. Langkah kakiku mungkin tidak seanggun model di atas catwalk. Seperti yang kalian tahu aku ini sedikit pincang. Aku mungkin belum pernah memberitahu kalian, kondisiku ini sudah final. Jalanku tak akan bisa diperbaiki lagi. Akulah si gadis pincang. Hanya saja sekarang langkah yang dibawa kaki pincangku terasa ringan. Lebih ringan dibanding sebelum kecelakaan itu. Pendengaranku pun masih sama. Namun di saat tak ada alat bantu dengar yang menyumpal telingaku, saat dunia begitu hening, aku tak lagi merasa sendirian; kosong. Aku tetap mendengar banyak suara, banyak tawa, candaan. Suasananya begitu ramai dan menyenangkan.

Bing melambaikan tangan dari dalam taksi yang sudah menunggu di depan rumahku. Sejak berbaikan aku mulai berani mengutarakan pendapat. Salah satunya, aku tak suka Bing menyetir semaunya di jalanan. Aku bukan orang yang terlalu menaati peraturan. Namun rasanya tidak benar melihat anak di bawah umur bisa berkendara sesuka hati di jalan raya. Aku hanya takut.  Anak di bawah umur dilarang berkendara bukan tanpa alasan yang jelas. Bing salah satu orang yang gampang marah-marah dan bertindak sembrono. Dia pernah marah-marah tidak jelas dan hampir membuat masalah di tengah jalan dengan seorang pengendara motor hanya karena masalah disalip.

Jadi beginilah sekarang. Kami ke mana-mana naik taksi. Terkadang juga Bing diantar ke sekolah dengan sopir. Lebih baik dan lebih aman.

“Banyak banget bawaan lo,” komentar Bing melihat tas dan keranjang piknik di kanan dan kiriku. Aku tersenyum. Yang dia maksud pasti keranjang yang besar banget ini.

Bing mengambil keranjang, lalu memasukkannya ke bagasi.“Aku lagi semangat masak. Gak sadar udah sebanyak ini.”

Taksi kami mulai berjalan begitu aku menggunakan sabuk pengaman. Bing semringah dan menunjukkan gigi-gigi putihnya.

"Kenapa?" tanyaku, melihat senyumnya yang terlalu lebar."

“Cie... yang udah mulai belajar jadi istri yang baik. Santai aja, Hook. Kita nikmati masa-masa muda ini dulu.”

“Aku masak karena aku suka, bukan karena mau jadi istri kamu.”

Bing memasang tampang sakit hati penuh pura-pura andalannya. “Princess kok kamu akhir-akhir ini jadi jahad sih?”

Aku tertawa geli mendengarnya. Akhir-akhir ini aku suka menggoda Bing.

Sesampainya di tempat tujuan kami berdua mulai menyiapkan segalanya. Kalian pasti sudah bisa menebak, kami akan piknik. Agak tidak biasa memang. Malah terdengar membosankan. Remaja keren akan kencan di tempat tongkrongan keren. Namun kami menggelar tikar dan mengeluarkan berbagai macam makanan, menatanya sedemian rupa, bersamaan dengan banyak keluarga lain di sekitar kami. Ya, keluarga. Anak remaja sepertinya tak terlalu suka piknik. Namun inilah yang kubayangkan saat Bing bertanya aku ingin kencan yang bagaimana.

“Sandwich, buah, dadar gulung...” Aku mulai mengabsen semua makanan yang telah kupersiapkan.

“Gue masih gak percaya lo bikin semua ini. Benar-benar calon istri idamana.”

Aku tak membantah kata-kata Bing kali ini. Aku pun suka mendengarnya. Dan semoga saja, semakin sering diucapkan, suatu hari akan menjadi kenyataan. Perkataaan adalah doa kan?

Bing makan onigiri, lalu pisang goreng cokelat, lalu kentang goreng, dan banyak lagi. Dia terlihat seperti bocah enam tahun yang bersemangat diberikan jajanan.

“Pelan-pelan makannya," ucapku sambil tergelak. Mulut Bing penuh makanan tapi masih berusaha memasukkan yang baru.

“Gwu hwawus mhakan semhua wini. Khan lho wang bhuwat.” Oke, silakan download subtitle-nya di bawah ini.

http://bahasaalienbing.com

“Ya kan bisa pelan-pelan.”

“Gwakk bhisah. Lho jhuga mwakan.” Dia menyodorkan pisang goreng padaku. Aku membuka mulut dan memakannya.

“Pinter,” ucapnya lebih jelas setelah menelan semua makanan di mulut. Bing mulai makan dengan kalap lagi lalu terbatuk-batuk.

“Tuh kan. Udah dibilang pelan-pelan makannya.” Aku menepuk-nepuk punggung Bing lalu membukakan botol minum. Dia menenggaknya cepat-cepat. Nafas Bing ngos-ngosan.

“Kamu gak apa-apa?”

Wajah Bing sangat merah. “Kayaknya gue agak gak enak badan...”

“Kok tiba-tiba?”Aku menatapnya kaget.

“Entah nih.” Bing mendesah. Nafasnya masih ngos-ngosan. "Isi makanannya apa aja ya?”

Aku tercenung. Apa Bing alergi sesuatu. “Ka-kamu...” Bing mengangguk sebelum aku menjawab.

“Gak apa-apa. Gue tahu obatnya kok.” Bing mengusap wajahnya yang memerah. “Tolong ambilin. Di saku kanan jaket.” Bing tadi memang memakai jaket dan melepaskannya setelah kami duduk di sini. Aku mengambil benda tersebut dan merogoh saku jaket, menarik keluar sebuah kertas. Aku mengernyit. Mulai mengira-ngira obat jenis apa yang ditaruh di dalam kertas? Narkoba?

Kubuka kertas dan bibirku menipis. “Cheesy banget sih,” komentarku.

“Haha... aneh ya.” Bing menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Udah gue duga ini ide bodoh. Taslim mana bisa dipercaya buat nembak cewek. Dia aja enam belas tahun jomlo.”

Aku tertawa mendengar keluhan Bing. Aku sama sekali tak merasa aneh. Aku berkomentar cheesy karena malu. Namun aku akan membiarkannya saja.

“Jadi apa jawabannya?”

Aku tertawa lagi. Baru kali ini Bing terlihat malu dan ragu-ragu. Sikap pedenya yang berlebihan entah hilang ke mana.

Aku membuka tas selempang yang kubawa. Mengeluarkan buku catatan yang diberikan Bing dan menulis:
Enggak.

Pertanyaan yang ditulis Bing di kertas tadi adalah:
Kapten Hook di kisah Peterpan cuma bajak laut penuh dendam. Dia gak jatuh cinta. Gimana sama lo? Apa lo juga sama?

Bing membalas:
Jadi lo bisa jatuh cinta?

Tentu. Aku Princess Hook, bukan Kapten Hook. Aku percaya cinta. Dan... aku punya rahasia. Kamu mau tahu rahasiaku?

Bing:
Mau. Apa?

Aku:
Sekarang pun aku lagi jatuh cinta.

Bing tampak semakin malu.
Siapa cowok yang beruntung itu? Gue kenal?

Kenal banget. Dia cowok paling percaya diri yang pernah kukenal. Tapi sekarang dia kelihatan malu banget. Kayaknya dia lagi khawatir.

Bing tertawa. Tapi tak melihatku. Sejak tadi kami tak saling menatap, hanya melirik sebentar secara sembunyi-sembunyi.

Kalau gitu lo mau gak menghilangkan kekhawatirannya?

Mau. Kalau dia minta langsung.

Setelah membaca balasanku Bing langsung menoleh. Bibirnya dihiasi senyum menawan. Dia menarik kedua tanganku. Menggenggamnya sambil memutar-mutar ibu jarinya di punggung tanganku. “Gue memang khawatir banget. Gak tahu kenapa, gue gak bisa kepedean lagi sama lo.”

Aku tertawa kecil.

“Jadi biar gue gak khawatir lagi, kamu... jawab ya. Mahda, kamu mau gakjadi pacar aku?”

Padahal ini kan hanya nembak biasa. Bukan lamaran dan aku akan jadi pengantin atau sebagainya. Ini bisa saja cuma cinta monyet. Tapi aku senang sekali sampai menangis.

“Jangan nangis dong.” Bing mengusap air mataku. “Udah?”

Aku mengangguk. “Ini anggukan buat dua pertanyaan kamu.”

Bing tercenung. “Maksudnya?”

“Anggukan buat apa aku udah selesai nangis atau belum, dan anggukan buat aku mau gak jadi pacar kamu.”

Sudut-sudut bibir Bing terangkat tinggi. "Serius?”

Aku mengangguk lagi. “Iya,” ucapku lalu membisikkan sesuatu. “Kamu kan tahu aku lagi jatuh cinta. Sama kamu. Udah jelas kan ini rahasiaku.”

***

Sincerely,
Dark Peppermint

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang