12. Mahda

201 34 1
                                    

Aku cukup terkejut saat tiba-tiba saja Papa mengetuk pintu kamarku dan memintaku bersiap-siap sebab seseorang akan mengajakku pergi ke suatu tempat.


"Cepet, temen kamu udah nunggu di bawah!"


Kucegat Papa yang hendak berbalik. "Temen Mahda? Siapa?"


Aku kan tidak punya teman.


"Itu... yang tinggi dan ganteng itu," jelas Papa membuatku berfirasat tak enak. "Katanya namanya Bing."


Tuh kan. Sudah kuduga. Bolehkah aku menjerit sekarang? Ganteng dan tinggi lagi katanya.


"Pa, cowok itu bukan temen Mahda."


"Kamu jangan bilang begitu. Sepertinya dia anak baik dan punya niat yang baik pula untuk jadi temen kamu. Tolong Mahda, berhentilah hidup seperti ini!" lirih Papa. "Papa tau ini sulit buat kamu. Tapi beri dia kesempatan, dan yang terpenting, beri diri kamu kesempatan. Papa sangat ingin melihat kamu seperti dulu lagi. Papa mohon, Nak."


Kalau sudah begini apa lagi yang bisa kulakukan. Beri diriku kesempatan?


"Ya udah, Mahda bakal siap-siap sekarang."


Papa tersenyum lega. "Terima kasih, Sayang. Papa turun dulu nemenin temen kamu itu," pamit Papa yang kali ini malah memberi senyuman mengejek saat menyebut kata 'temen kamu itu'.


Ya Tuhan. Benarkah keputusanku ini.


Sikap-sikap tak terduga Bing benar-benar bikin geleng kepala. Bahkan orang yang sudah berpacaran lama pun akan berpikir beberapa kali sebelum menemui ayahnya, tapi dia, pacar juga bukan berani-beraninya minta izin pada papaku seperti itu.


Sudah kupasang wajah cemberut sejak turun dari tangga hingga kini kami tiba di Taman Ismail Marzuki.


Kita mau ke mana? tulisku di catatan yang dia berikan.


"Akhirnya elo ngomong juga. Dari tadi gue tungguin lo buat nanya, tapi lo diem mulu."


Aku kan bisu, mana bisa ngomong.


"Maksud gue ya lo nanyanya kayak sekarang ini, nulis di catatan yang gue beliin buat lo."


"Ayo, ikutin gue!" seru Bing seraya menarik tanganku, membawanya dalam genggaman tangannya. Namun lekas kutepis dan kembali menulis: kamu belum jawab ke mana.


Dia diam saja dengan sudut bibir yang terangkat menyunggingkan senyum misterius. "Gue memang nunggu lo buat nanya, tapi bukan berarti gue mau jawab sesuai keinginan lo," ujarnya menyebalkan lalu kembali menarik tanganku sesuka hatinya.

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang