11

6.8K 1.5K 115
                                    

Perjalanan diberhentikan saat matahari sudah tidak lagi tampak. Sayangnya mereka tidak menemukan shelter untuk di singgahi malam ini. Berujung mencari lahan yang cukup untuk mendirikan tenda. Meski berundak, dirasa cukup cukup saja untuk membangun tenda meski ruang gerak menjadi sempit dan harus dua kali lebih hati hati saat keluar tenda. Takutnya kalau asal injak, terperosok dan jatuh ke tenda bagian bawah rekan yang lain.

Di tenda hijau, Windu baru saja masuk seusai tayamum dan bersiap untuk menjamak sholatnya. Dengan keadaan tenda yang remang disenteri oleh Lia di pojok tenda, Windu kesulitan menemukan tasnya yang tadi ditata oleh Maudy.

"Dy, tas ku mana ya?"

"Barat mu."

"Mana?"

"Barat Win, bukan timur," oceh Maudy saat Windy salah tangkap dengan instruksi Maudy.

"Barat?" gumamnya bingung. Maudy melangkah kearah kirinya dan mengambilkan tas yang dimaksud.

"Ini barat mu," tuturnya. Windu menghela napas pelan, "Kiri..."

"Kenapa susah susah bilang pake arah mata angin kalo ada yang lebih simpel kayak kanan dan kiri," protes Windu sambil memanyunkan bibirnya juga mengambil mukena dari dalam tasnya. Maudy hanya tersenyum dan duduk di pojok tenda menemani Lia yang banyak diam sejak siang.

Selagi Windu menggugurkan kewajibannya, Maudy mengajak Lia mengobrol dengan mengecilkan suaranya. Hampir seperti orang berbisik.

"Diem aja, mbak," ucap pemudi berkulit sawo matang.

Lia tersenyum miring dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Mungkin Lia terlalu lelah untuk diajak bicara, jadi Maudy memahami nya dan hanya diam memandang Windu yang bersujud, bangkit, ruku dan terus berulang sampai rakaat terakhir. Sampai itu pula Lia tak membuka mulutnya.

"Aku keluar duluan ya, mau nyiapin makan. Belum selesai tadi." ucap Windu sambil memberikan mukenanya untuk teman sebayanya. Maudy meraihnya dan mengangguk memperbolehkan.

"Teh, mau keluar gak? Pake jaket tapi. Dingin." ajak Windu. Lia mendongak dan hanya menggeleng, lagi lagi tak bersuara. Windu bertukar tatap dengan Maudy dan lekas pergi keluar untuk menyiapkan makanan yang tadi hampir jadi namun terjeda.

Akhirnya, Lia tetap duduk di pojok tenda bergantian memandangi Maudy khusyuk dalam sholatnya. Anehnya, ia merasa aman dan tenang seolah cemasnya menghilang entah kemana. Yang ia butuhkan hanya ketenangan, ia perlu berpikir jernih agar akal sehatnya berfungsi.

Ia tidak percaya mitos, ia tidak percaya hantu, pokoknya ia tidak percaya akan hal hal tidak masuk akal itu.







"Jelasin dari awal, mulai dari kamu turun berdua bareng Surya. Aku yakin itu bukan sekedar cari angin." Malik meneguk ludahnya dan mengangguk. Mengusap usap telapak tangannya dan mulai membuka suaranya.

"Iya, aku dan Surya turun untuk cari bantuan."

"Ke?"

"Perlu aku sebut?" Lia mendadak merinding ketika Malik menatapnya. Akhirnya pemudi itu paham dengan sendirinya. "Ya pokoknya yang gak keliatan. Surya bisa liat mereka, bisa interaksi juga, jadi kita pake ide gila itu untuk nanya keberadaan Mahes."

"Berhasil?"

"Lumayan, tapi cuma dapet info kalo Mahesa masih di bawah. Akhirnya 'dia' minta tolong 'temen temen' yang lainnya semisal ketemu Mahes, tolong ditunjukin arahnya. Dan bener, tapi gak expect sampe dirasukin."

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang