32

4K 475 104
                                    

Jenazah Karina ditemukan satu hari setelahnya. Entah mengapa begitu banyak memerlukan waktu padahal katanya mereka belum jauh meninggalkan Karina. Dengan kondisi yang sama seperti terakhir kali terlihat, bekas luka tusuk di lengannya membuat tim SAR dengan teliti mencari si alat.

Lepas dibawa turun, jenazah segera di autopsi atas izin keluarga. Praduga praduga dari tim forensik memberikan hasil yang kurang memuaskan bagi keluarga. Jika korban tidak kidal dan melukai lengan kirinya, maka hasilnya adalah tindakan bunuh diri. Namun yang masih jadi pertanyaan adalah mengapa DNA orang lain terdeteksi lebih banyak di sana?

Dengan pikiran yang kalut, Miranda bergegas menuju orang yang dimaksud. Kabarnya, masih satu rumah sakit dengan putri semata wayangnya. Sehingga memudahkannya untuk meminta kejelasan. Sebab, alasan kematian putrinya itu tidak bisa ia terima.

Pintu kamar kelas satu dibuka serampangan. Penunggu yang ada sontak menoleh. Wajah penjenguk yang tidak ia kenali itu berjalan mendekat.

"Rajeno Wicaksono? Korban pendakian Gunung Salak?" ucap Miranda getir.

"Iya, ada apa ini? Anda siapa?" tanya wanita berambut gelombang.

"Saya butuh penjelasan anak ibu atas kematian anak saya, Karina."

"Apa maksudnya? Apa hubungannya dengan anak saya?" ujar wanita itu sambil menghadang jalan, namanya Ivanna.

Miranda berusaha meraih tubuh Jeno yang terkapar, namun tak sampai karena Ivanna menghalangi.

"Bicara sama saya. Jangan sentuh anak saya!" tegas Ivanna.

"Bangunkan dia atau saya bawa masalah ini kedepan hukum!"

"Atas dasar apa anda menuduh anak saya? Ada buktinya?" Ivanna terus mengulur dan membuat wanita menjauh sedikit demi sedikit dari putranya.

"Hasil visum yang keluar, DNA-nya terbaca jelas! Saya tidak bisa bawa suratnya maka dari itu bangunkan dia selagi saya bersabar."

"Gak bisa. Anak saya masih dalam pengaruh bius, baru selesai operasi. Jika mau disidik, nanti setelah masa pemulihan."

"Jangan coba coba untuk beralasan. Dia pasti pura pura tidur."

"Kalau ibu semakin lancang, saya akan panggil security!" Ivanna yang semakin kesal itu dengan berani mendorong Miranda.

Jari telunjuk yang tadinya gemetar kini mengacung teguh di depan mata Ivanna, "Saya akan bawa ini ke jalur hukum." kemudian pergi meninggalkan kamar ini.

Ivanna menghela napasnya kesal. Belum selesai satu masalah, sudah muncul masalah baru yang bersiap menimpanya. Tapi mau tak mau ia harus mengumpulkan keberanian untuk menghadapinya. Karena ia percaya, anaknya tidak mungkin seorang pembunuh.

Hari pun berlalu begitu berat. Apalagi jika dihabiskan untuk menjaga darah dagingnya yang hampir kehilangan nyawa. Jantungnya terus berdebar tiap kali jam berdetak. Rasanya seperti dipaksa terjaga untuk siaga. Hingga fajar menyingsing, Ivanna tidur tidur ayam dalam posisi duduk. Sangat tidak nyaman apalagi diumurnya yang tak lagi muda.

Untuk menyegarkan kembali tubuhnya, ia beranjak ke nakas untuk menuangkan segelas air yang dingin karena suhu ruangan ber-ac. Sangat melipur tenggorokannya yang kering dan terasa pahit. Dan sebuah telepon masuk menghubungi nomornya.

"Halo, mas. Kenapa?"

"Jas hitam saya kok gak ada?"

"Udah saya laundry kok...mungkin belum diantar. Saya coba hubungi mbak Ntin dulu."

"Gak usah, saya pakai yang lain aja."

"Hmmm...oke, maaf ya mas."

"Hm."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang