"Eta naon namana kalau bukan nyerah?! Tembak sirah na saeuncan sia paeh. TEMBAK! (Tembak kepala gua sebelum lo mati. TEMBAK!)” kesal Surya mencengkram jas hujan Jeno. "Mana pistol na ka luarkeun! Tembak kepala aing biar kita mati berdua.”
"GUA JUGA GAK MAU KAYAK GINI!" geram Jeno tepat di hadapan Surya yang berada di atas tubuhnya. "Lo egois kalo tetep maksa gue turun. Kaki gua udah gak ada rasanya, Rya. Badan gua sakit semua..." Dengan raut wajah hampir menangis, Jeno mengalihkan wajahnya agar Surya tak melihatnya.
"Tapi kalau maneh nyerah, aing juga nyerah Jen. Maneh mati, aing juga mending mati."
"Justru karena itu gua suruh lo tinggalin gua! Lo gak akan liat gua mati." Surya terdiam bukan karena setuju, meski ia menolak, Jeno akan mencari cari alasan lain untuk mengusirnya. "Aduh anjing tangan gua gak bisa digerakin." umpatnya saat mencoba mengganti posisi, tapi bahu kanan yang lagi lagi dibuat menahan tubuhnya ketika jatuh itu tidak bisa diangkat.
Surya menatap bahu kanan Jeno, pergelangan tangan yang perbannya sudah koyak, perut, dan pelipis mata yang baru menghantam kerikil. Memang banyak sekali luka di tubuh rekannya itu, entah bagaimana rasanya yang mungkin, atau bisa juga pasti, ia akan menyerah seperti Jeno.
"Aing.....
tetep di sini sampai maneh kuat."
°°°
Entah sudah berapa lama mereka melangkah, tapi pergerakan mereka tidak terlalu besar karena berjalan dengan perlahan. Itu pun karena terlalu berhati-hati dengan medan yang licin ini.
Nalen berhenti di tengah jalan, sedikit merukuk karena keberatan. Maudy dan Lia yang berada di belakangnya lekas menghampiri untuk menanyakan keadaannya.
“Kenapa, Len?” tanya Lia khawatir. Nalen tak menjawab melainkan suara napasnya yang dihembus kencang yang memberi jawaban.
“Istirahat dulu aja mba...” usul Maudy. Tapi rombongan depannya sudah berjalan cukup jauh dari mereka meski masih dalam pengelihatan. Nalen menampik, “Gak usah, gue cuma butuh berenti sebentar.” Napasnya masih tersengal.
Tak berselang lama, Malik datang menghampiri. Dengan raut wajah datar tak menunjukkan emosinya, ia hanya berdiri dan menatap teman temannya bergantian.
“Win, lo masih bangun kan?” tanya Nalen. Windu mengangguk amat pelan dan Maudy yang melihat pun menyampaikannya, “Masih, mas.”
Sedikit lega, tenaganya seakan ter-charge kembali. Dan sekarang ia telah siap untuk melanjutkan perjalanannya lagi. Tapi sebelum itu, pemudi yang tampak gusar itu menahan sebelah baju rekannya.
“Dy, kamu....” ucapnya. Lalu menggeleng cepat dan melanjutkan kalimatnya setelah menimang nimangnya sesaat, “Kamu bantuin Nalen ya. Aku jagain kak Malik di belakang, sambil bantu liatin barisan depan. Kamu fokus aja sama Windu, ya?”
“Inggih mba,” jawab Maudy manut. Kemudian Lia berteriak agar suaranya terdengar hingga kedepan, “Pelan pelan! Kami ketinggalan!”
Lalu disaut oleh suara lantang milik pemuda berkulit sawo matang. Dan sepertinya mereka akan berhenti sesaat untuk menunggu komplotan Lia yang tertinggal. Setelah Nalen, Windu dan Maudy berjalan lebih dulu, Lia dan Malik yang berada di belakang masih saling diam menatap ketiga punggung di hadapan mereka. Lalu sebuah tangan tau tau telah merangkul lengan kekar Malik yang terlihat tidak ada pergerakan. Bermaksud agar keduanya segera mengejar dan tak akan terpisah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade
Fanfiction"Ini udah mustahil gak sih?" collaboration with dreamizluv cover by happyytal