Jangkrik berderik, di susul dengan nguakan burung hantu, menemani Nalen membakar hasil buruan di tepi sungai tadi. Sekitar ada 6 tusuk sate katak tengah di bakar, cukup untuk makan malam kali ini. Bahkan lebih dari cukup.
"Sini gantian," celetuk Windu yang tiba tiba sudah berada di kiri Nalen.
"Bentar lagi jadi, tanggung."
Pemudi itu mengerucutkan bibirnya dan ikut berjongkok ditanah bersama. Memandangi Nalendra bekerja dengan sangat telaten membalik balikan katak yang di bumbui seadanya. Meski begitu, tetap terlihat menggiurkan dan membuat Windu lupa akan hewan berlendir itu. Dan dalam situasi darurat seperti ini, ia cukup tau diri untuk tidak protes perihal makanan yang sudah susah susah didapatkan.
"Gue kangen bunda masa," celetuk nya tiba tiba. Membuat Nalen menoleh memperhatikan. "Kangen ayam bakar buatannya, pasti enak kalo dimakan pake nasi anget."
"Besok kita udah nyampe rumah kok,"
"Ah yang bener aja lo, ngomong sesuai fakta aja kali." ucapnya sambil menoleh kelain arah dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut. "Jangan keseringan bikin orang berharap. Itu kebiasaan buruk nomor satu lo."
"Ya jangan nangis, Win..." khawatirnya, Windu yang baru menenggelamkan wajahnya harus kembai bangkit untuk menunjukkan wajahnya, "Gue ngantuk anjir, gak nangis. Nungguin lo selesai bakar."
"Nungguin gue atau nungguin kodok?"
"Gak enak banget sih nyebutnya kodok."
"Tadi disuruh ngomong fakta, kalo gue bilang gue bakar ayam dibilang ngasih harapan. Konsisten dong." oceh Nalen sambil meletakkan hasil bakarannya di atas piring rotan yang dilapisi dedaunan. "Bawa kesana gih! Makan di tenda aja, banyak nyamuk."
"Oke, lo?"
"Nanti gue nyusul, matiin api dulu."
"Jeno! Bangun!" ucap Surya sambil menepuk nepuk lengan kekar itu. Jeno pun terbangun dengan peluh di keningnya yang bercucuran.
"Tidur lo gelisah banget, kenapa?" tanya Malik. Bukannya menjawab, Jeno malah merangkak keluar tenda dan celingak celinguk kearah luar, entah apa yang sedang ia cari. Namun ekspresinya ketakutan seperti sedang di ikuti sesuatu.
"Lia mana?" pertanyaan pertamanya saat bangun dari tidur.
"Tidur disebelah, kalian berdua kan kecapekan." jawab Surya. Jeno pun bangkit, memakai sepatunya asal dengan keadaan linglung menghampiri tenda Lia.
"Kak, ini makanannya udah ja—di." ujar Windu saat berpapasan namun tak dihiraukan. Jeno terburu-buru untuk mengecek keadaan Lia.
Dibukanya tenda tersebut dengan gegabah, dan Jeno pun tersentak saat melihat Lia terduduk menghadapnya. Untuk sesaat, suasana berjalan dengan hening. Saat kedua bola mata itu menatap semestanya, hujan tiba tiba datang membasahi pipinya. Lia menangis tanpa sebab. Membuat Jeno menghampirinya untuk memberikan sebuah pelukan.
"Aku mau pulang..." ucapnya lirih. Jeno mengusap usap punggung kekasihnya, memberikan ketenangan. "Disini berisik, Jen."
"Siapa yang berisik? Hmmm?"
"Gak tau, aku mau pulang..." jawabnya semakin lirih sambil menutup kedua telinganya erat erat.
"Dengerin suara aku aja ya, Berlian. Dengerin suara aku aja."
"Tapi suara kamu serem, Jen. Ini bukan suara kamu." jawabnya semakin mengeratkan telinganya. Bahkan Lia sampai terpejam. Jeno pun kebingungan, ia segera menoleh kebelakang berharap Windu, Surya atau siapapun sudah berada dibelakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade
Fanfiction"Ini udah mustahil gak sih?" collaboration with dreamizluv cover by happyytal